LIMA BELAS : MEMANTIK API
"Anya baru berangkat pagi tadi. Iya. Kan kamu sendiri yang memutuskan pulang duluan." Medhya menjawab sembari mengapit ponsel diantara bahu dan telinga. Ia sibuk mencuci tangan di wastafel dan menatap wajahnya dari cermin. "Iya, Ger. Chanel sama Givenchy-mu kemarin ada yang ketinggalan kayaknya." Medhya mengibaskan tangan kemudian meletakkannya di bawah mesin pengering yang bersuara berisik untuk sesaat.
Ia mengambil ponselnya dengan tangan setelah itu. "Dalam rangka apaan aku di kasih tas dobel-dobel begitu?" Ia berdecak mendengar jawaban Gerda di ujung sana. "Oh, pantesan. Aku tahu kamu ini memang suka nyuap orang begini. Nggak mungkin kamu tiba-tiba baik kalau nggak ada motifnya.""Ya udah, coba kulihat jadwalku dulu, bisa atau enggaknya. Nanti malam ku telepon. Aku lagi sibuk banget hari ini. Yes, bye."
Medhya mematikan panggilan untuk bergegas kembali ke ruangan. Langkah santainya terhenti ketika mendengar sesuatu di balik ruang fotokopi. Pergerakan kaki Medhya memelan saat tak sengaja menangkap sosok Naira yang sedang menunduk ketakutan. Di depannya, ada seorang lelaki yang tengah memegang bahunya dengan gerakan mencurigakan.
Mata Medhya menyipit. Karena punya feeling tak enak, ia pun membelokkan kakinya menuju ruangan tersebut dan samar-samar, dapat mendengar suara Pak Mirza yang bernada kurang ajar.
"Seperti itulah caranya bekerja. Kamu ngerti, kan?" Tangan lelaki itu menjalar meremas pundak dan lengan Naira, membuat gadis itu menciut perlahan di tempat. "Kalau kamu mau, saya bisa ajari kamu nanti. Gimana kalau sepulang kerja, kamu ikut ke tempat saya?" Tangannya bergerak perlahan mengelus bahu Naira dengan tatapan intens.
Medhya yang melihatnya pun segera membentak. "Naira!"
Mereka berdua menoleh kaget. Terlebih, wajah Naira yang kini merah, sudah menahan tangis.
"Ngapain jam kerja begini kamu disini?" Medhya memicing melihat tangan Mirza yang masih terletak di bahu Naira.
Bibir gadis itu mengatup emosi. Ia segera menarik Naira dari hadapan Mirza sambil menahan murka. "Balik ke ruangan. Kamu jangan berani-berani keluar kalau belum ijin sama saya.""I-iya, Mbak." Gadis itu langsung lari begitu Medhya mengalihkan pandangannya pada Mirza. "Bapak ada perlu apa dengan anak fashion?"
Tatapan Mirza yang kurang ajar dari Naira beralih, kemudian ia tersenyum tipis dan menggeleng. "Saya cuma memberinya nasihat saja."
Nasihat cabul, maksudnya? Batin Medhya geram.
Ia tahu jelas, seperti apa tindak tanduk Mirza selama ini. Lelaki itu, sudah sering melecehkan karyawan disini. Dulu, waktu masih baru, Medhya juga sering jadi korbannya. Dan tadi ... Medhya berdecak. Mengingat tangan lelaki itu yang sempat meraba-raba bahu Naira dengan maksud tertentu.
"Kalau ada sesuatu, Bapak bilang saja ke saya. Jangan ke anak baru itu. Dia nggak tahu apa-apa," katanya dengan tegas.
Seorang tim editor masuk ke ruang fotokopi dan menjeda percakapan mereka. "Ada apa, nih? Kok hawanya panas begini?"
Mirza menggeleng dengan senyum remeh. "Nggak apa-apa. Biasalah, namanya juga kerja bareng perempuan, pasti ada saja dramanya." ucapnya, melirik Medhya singkat. "Makhluk sensitif yang suka membuat segala sesuatu jadi rumit. Makanya saya nggak suka kerja sama perempuan selama ini. Kamu tahu alasannya apa?" Mirza maju selangkah dan menatap Medhya dengan bibir menyeringai miring. "Mereka punya terlalu banyak kelemahan. Sudah di ajari susah-susah, tapi rawan sia-sia. Kalau menikah, sering minta cuti. Entah cuti hamil lah, cuti melahirkan, anaknya sakit dan segala macam. Belum lagi para perempuan ini kurang bisa di andalkan untuk mengurus sesuatu. Jangan tersinggung ya, saya tahu kamu tidak begitu." Senyumnya tersungging begitu melihat tangan Medhya mengepal. "Seharusnya perempuan di rumah saja. Jangan merecoki pekerjaan para lelaki seperti ini." Tangan Mirza beralih ke pundak Medhya, menekannya lembut. "Iya, kan, Medhya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
STROBERI DAN KOPI
Romance[Season kedua dari : Do you remember your first cup of coffee] Bahwasanya setelah patah dan hancur lebur bersama kehilangan bertubi-tubi yang ia rasakan di masa lalu, sebuah luka amat besar masih menghuni hatinya. Medhya sadar bahwa hatinya tak siap...