56

58.9K 3.6K 208
                                    

LIMA PULUH ENAM : PERGOLAKAN DAN LUKA LAMA








"Mana, bawa semuanya kesini."

Andreas langsung menyodorkan berkas-berkas yang beberapa hari ini Ginan tinggalkan. Ia menumpuk map demi map hingga menggunung di meja. Memang sebanyak inilah pekerjaan Ginan setiap hari. Tidak kurang, malah bisa lebih.

"Ini sudah saya sortir kok, Pak. Yang urgent-urgent saja yang saya bawa. Lainnya masih bisa nunggu dan sisanya sudah di handle sama Bang Leon." Andreas duduk di sofa lainnya, bersebrangan dengan Ginan dan Anthariksa. Sekejap, perhatian Andreas teralih pada kuku warna-warni Anthariksa.
"Mas Antha,"

"Apa?"

"Kukunya lucu amat. Habis main di salon mana tadi?" Ledeknya sambil nyengir.

Antha mendengus. "Diem lo. Ini salah satu bentuk pengorbanan gue buat calon ponakan di masa depan."

Andreas ketawa pelan. Saat Ginan meraih berkas di meja, Andreas baru sadar, kuku bos besarnya juga sama seperti Anthariksa. "Lho, Pak Ginan kukunya juga warna-warni, ya?" tanyanya. "Tumben kompak."

"Sebaiknya kamu diam, Andreas," sahut Ginan santai.

Andreas langsung mingkem seketika. Ia tak berani mengolok-olok lagi meskipun mulutnya gatal ingin melakukannya. Sejak kapan dua atasannya ini hobi perawatan kuku, coba?

"Pak," kini Leon yang datang. "Saya mau melaporkan-- Pak Ginan kukunya kenapa?"

Ginan menghela napas panjang sebelum menjawab. "Kerjaan istri. Bisa nggak, kalian jangan fokus ke hal-hal begini?"

"Oh, maaf," ujar Leon lantas duduk dengan tenang. "Beberapa hari lalu, saya sudah melaporkan ini ke Mas Antha. Saya belum sempat bicara dengan Bapak karena tiba-tiba ada kejadian begini."

"Ada apa?"

"Pegawai PramIndo yang beberapa waktu lalu di transfer ke GMK mencuri dokumen rahasia dan uang. Setelah saya selidiki, dalangnya ternyata keluarga Sutedja."

"Sutedja?" Ginan mengingat-ingat. "Siapa itu?"

"Keluarga mantan calon tunangannya Devin, dari pihak emaknya." Anthariksa menjawab. "Kata Leon, mereka nggak berani nyerang PramIndo langsung, jadi mencoba kasih kejutan dengan cara menyerang ke GMK dulu."

Ginan mengernyit. "Gagal, kan?"

Leon mengangguk. "Untungnya masih berhasil kami gagalkan." Ucapnya. "Tapi saya khawatir mereka akan cari gara-gara lagi nanti. Apa perintah Bapak untuk masalah ini?"

Ginan terdiam cukup lama. Sembari memeriksa laporan keuangan dan membubuhkan tanda tangan, ia menggunakan waktu untuk berpikir hingga akhirnya mengangguk tipis. "Balas."

"Caranya, Pak?"

"Kamu lihat perusahaan pusat dari keluarga mereka. Kalau ada kesempatan, beli sahamnya sebanyak yang kita mampu."

"Saham mereka tidak begitu bagus, Pak."

"Its fine. Kita beli dulu. Nanti kalau kita sudah gabung, pasti akan banyak perusahaan besar yang latah ikut beli," ujarnya santai. Masih membuka lembar per lembar laporan di tangan. "Kalau bisa kita punya lebih dari tiga persen."

"Itu nggak kebanyakan?" tanya Antha kaget. "Buat apa beli saham jelek begitu banyak-banyak?"

"Sutedja itu yang punya perusahaan alat-alat medis, kan?" tanya Ginan, meletakkan mapnya sejenak. "Sejelek-jeleknya mereka, tetap akan berguna untuk Pramedical center."

"Mereka sudah memutuskan hubungan kerjasama dengan kita, Pak."

"Itu dia, kurang ajar sekali mereka berani memutuskan hubungan kerjasama dengan kita, padahal selama ini kita lah yang membantu namanya tetap eksis?" Ginan berujar ketus. "Kita beli sahamnya, rangkul para pemilik saham yang lain, lalu adakan rapat untuk menggoyahkan posisi si Sutedja itu dari jabatannya. Dia perlu shock terapi."

STROBERI DAN KOPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang