TIGA PULUH TIGA : SEPERTI TERJAL DI JALAN KITA
"Berapa lama kalian saling kenal?"
Presidential suite room itu di dominasi oleh warna putih dan keemasan. Dari gorden besar yang terbuka lebar, pemandangan Mall yang kelap-kelip dan pusat hiburan di dekatnya tampak mentereng, seolah menggoda Medhya untuk melihat lebih lama. Sayang sekali, Mursidah Sekar Adhi, atau yang lebih sering disapa sebagai Mursidah Prambudi, istri dari almarhum Maestopo Soedjotomo Prambudi tersebut tak membiarkan Medhya menikmati pemandangan yang ada lebih lama.
Pertanyaan darinya terdengar menuntut sendi-sendi waspada dalam diri Medhya agar lekas bersiaga.
Tak hanya tingkahnya yang harus di jaga, tapi cara bicaranya juga.Dengan punggung yang tegak, kaki rapat dan kedua tangan bertumpu di lutut, gadis itu tersenyum manis sembari menjawab. "Kami bertemu tujuh tahun yang lalu." Ia sengaja memberi jeda yang cukup lama sebelum melanjutkan. "Saat itu saya masih kuliah di Unpram, semester tiga, dan Mas Ginan sedang sibuk-sibuknya mengurus PramIndo."
Di sofa tunggal berwarna putih tulang itu, Mursidah Prambudi menatap Medhya amat lama. Penuh pertimbangan dan tampak sekali banyak hal yang memenuhi pandangannya.
"Tentu, saya tidak tahu nama belakangnya." Medhya meneruskan. "Tiga tahun kami berpacaran, dia menipu saya dengan tidak menyertakan nama Prambudi di belakang namanya." Ia tersenyum menjawab tatapan wanita tua itu. Memamerkan kejujuran dari matanya yang berpendar sendu, Medhya menjawab tanya yang tidak terlontar dari bagaimana wanita renta itu memandanginya saat ini. "Sekarang saya tahu kenapa dia melakukan itu semua."
"Menurutmu apa alasannya?"
Medhya menarik ujung-ujung bibirnya dengan lembut seraya menjawab. "Karena kalau saat itu dia jujur, saya pasti akan kabur."
"Itu yang kamu lakukan saat akhirnya tahu identitas Ginan?" Tongkat berwarna cokelat kehitaman itu di sandarkan di bahu sofa.
Medhya membenarkan. "Sebenarnya, ada beberapa alasan kenapa saya kabur." Jawabnya dengan suara lembut. "Pertama, saya marah karena dia membohongi saya. Kedua, saya di tekan oleh menantu Eyang. Ketiga, saya sadar diri dan merasa tidak pantas. Dan yang terakhir ..." Medhya menatap mata wanita renta itu cukup lama sebelum meneruskan. "..saya kecewa dengan jawaban yang dia berikan saat saya bertanya, apa ada saya dalam masa depannya."
"Dia tidak menyertakanmu dalam rencana masa depannya?"
"Saat itu, sepertinya tidak." Medhya tampak menebak-nebak jawabannya sendiri.
"Lalu sekarang, apa yang membuatmu merasa percaya diri dan berani berdiri di sebelahnya?"
Medhya meremas kedua tangannya dengan lembut seraya membalas. "Tidak ada."
Sepasang mata sipit wanita renta itu mengerjap pelan. "Kamu tidak yakin dengan jalan yang kamu tempuh, tapi berani bicara dengan saya?"
Medhya tersenyum lagi. "Saya tidak punya apa-apa untuk di banggakan di depan Eyang." Ujarnya pelan. "Dan saat ini, ada terlalu banyak ketakutan dalam diri saya." Lanjutnya. Ia menghela napas panjang kemudian menambahi. "Tapi, di antara semua jenis ketakutan yang pernah saya rasakan selama hidup, membiarkan dia jauh dari saya adalah yang paling menakutkan. Sejujurnya, saya cuma berpura-pura menjadi pemberani dan membalas semua perkataan orang-orang supaya dia bangga."
Sepintas, wanita tua itu tersenyum tipis. Ia melepaskan cincin dari jarinya kemudian di letakkan di meja. "Saya menikah dengan Eyangnya Ginan di usia empat belas tahun. Melahirkan ayahnya Sangga diusia lima belas, melahirkan ayahnya Ginan di usia tujuh belas, dan melahirkan ibunya Anthariksa di usia dua puluh." Ada sebuah senyum yang dibagi Mursidah Prambudi lagi. "Kami hidup serba kekurangan. Eyangnya Ginan memulai usaha dengan berjualan beras keliling desa, sampai akhirnya kami bisa membuka kios kecil-kecilan. Dulu, cincin ini sudah sangat mewah buat saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
STROBERI DAN KOPI
Romance[Season kedua dari : Do you remember your first cup of coffee] Bahwasanya setelah patah dan hancur lebur bersama kehilangan bertubi-tubi yang ia rasakan di masa lalu, sebuah luka amat besar masih menghuni hatinya. Medhya sadar bahwa hatinya tak siap...