11

36.7K 3.5K 195
                                    

SEBELAS : UJI KELAYAKAN SAUDARA IPAR





"Kalau gitu, kalian bakal jadi saudara ipar, dong?"

Anya mengernyit bingung. Sembari meniupi kopi paginya, ia melirik Medhya yang sedang mengunyah roti gandum dengan wajah ngantuk. Beberapa kali kepalanya terantuk di meja makan saking sedikitnya waktu tidur yang ia miliki semalam.

"Bukannya lo udah nggak sama Mas Ginan lagi, ya?"

Gerda mencuil roti yang di pegang Medhya kemudian memasukkannya ke mulut. Sambil mengunyah, ia menjawab pertanyaan mewakili Medhya. "Kan mereka ketemu lagi. Biasalah, cinta lama belum kelar," ujarnya santai. Beralih mengambil kopi di gelas Anya menggunakan sendok. Menyeruputnya perlahan sebelum melanjutkan. "Nih cewek lagi di kejar-kejar sama aset negara tahu, Nya. Mas Ginan kan sekarang duitnya nggak bisa di hitung tuh, saking banyaknya." Gerda menyambung. "Bulan ini salah satu perusahaannya, Zalco, menggaet girlband Korea jadi brand ambassador. Terus pemain bola internasional juga. Duitnya kayak metik di kebun sendiri tuh orang. Bingung banget gue, nyari pesugihan dimaneee dia sampai segitunya." Gerda geleng-geleng kepala dengan heboh.

"Duit-duit dia. Kenapa jadi kamu yang pusing?" balas Medhya menyerngit.

"Masalahnya gue tuh dengkiii, beeeb!" Gerda bersungut-sungut saat Anya menepuk bibirnya dengan sendok bekas kopi.

"Lo mau, Yay?"

"Apa? Kopi?" tanya Medhya dengan mata mengerjap. Ia menguap pelan.

"Bukan. Maksud gue, lo mau balikan sama Mas Ginan?" Anya memperjelas pertanyaannya lagi. "Bukannya ... Mmmm ... Kalian itu ..."

"Nggak selevel?" Medhya meneruskan dengan santai. Mengunyah rotinya lagi. "Beda kasta?"

Gerda ngakak.

"Bukan gitu maksud gue," Anya berdecak. "Meskipun memang iya juga sih,"

"Brengsek kalian." umpat Medhya datar. Tanpa ekspresi sama sekali.  "Udah numpang, kurang ajar pula." lanjutnya sambil terus mengunyah.

"Tapi serius, lo masih punya perasaan sama dia, kan?"

"Kok pakai ditanya segala. Ya jelas masih lah," balas Gerda lagi, menimpali. "Makanya gue bilang ke dia beberapa waktu lalu. Kalaupun mereka nggak bisa sama-sama, seenggaknya puas-puasin dulu mainnya. Sambil porotin tuh duitnya sebanyak mungkin. Kan jadi untung di kedua belah pihak. Mas Ginan-nya bisa dapat asupan romantisme buat mendongkrak semangat kerja, sedangkan Medhya bisa dapat cuan dari hasil mendongkrak semangat kerjanya Mas Ginan. Kelar, deh!"

"Saran Gerda masuk akal, Yay," sahut Anya manggut-manggut. "Coba aja."

"Kalian kok bisa kompak begitu sih, dalam rangka menjual teman sendiri?"

"Ya daripada lo nggak dapat untung?" tanya Gerda lagi dengan serius. "Ini tuh elo termasuk rugi bandar, tahu. Soalnya, dulu kalian udah pacaran selama tiga tahun dan lo nggak dapat apa-apa."

"Dapat. Tapi sama si goblok ini di balikin lagi," potong Anya dengan segera. "Harusnya kalau putus mah putus aja. Barang-barang yang dia kasih ya jangan di balikin. Jual, kek, berliannya. Terus lo rampok tuh unit apartemennya selagi masih pegang akses masuk kesana. Terus, kartu kreditnya juga, harusnya di pakai buat shopping sepuas hati dulu sebelum di balikin."

"Wah iya. Memang goblok nih anak." Gerda baru ingat sebanyak apa Ginan pernah memfasilitasi Medhya.

"Mana aku tahu. Dulu, kupikir dia kerja sekeras itu karena banyak utang. Sampai rela pergi ke luar negeri segala. Makanya aku nggak tega pakai kartunya," sahut Medhya jengkel. "Tahunya memang dari sananya aja dia gila kerja."

STROBERI DAN KOPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang