25

36.7K 3.2K 78
                                    

DUA PULUH LIMA : DIBALIK PERSIMPANGAN




"Kalian pasti sedang bertengkar,"

Medhya melirik mobil Ginan yang berlalu di hadapannya cukup lama, kemudian menghela napas panjang saat mobil Barra mulai berjalan meninggalkan basemen gedung GMK.

"Dia kelihatan berbeda hari ini. Apa ada masalah?"

"Kami memang selalu bermasalah," sahut Medhya santai. "Perutku sakit, Bar. Jangan nanya-nanya lagi."

Barra terkekeh pelan. "Mau ke rumah sakit dulu?"

"Nggak. Mau pulang aja."

"Oke." Barra melajukan kendaraannya dengan pelan. Sesekali, ia menoleh pada Medhya yang menutup matanya. "Minggu depan Karen menikah."

"Aku nggak amnesia, Bar. Mana mungkin aku lupa jadwal sepenting itu?" Medhya bertanya retoris.

"Setelah itu, bagaimana kalau kita menyusul?"

"Bar," Medhya mendesah pelan. "Jangan bikin aku makin stres."

"Aku serius." Barra menyahut. "Mumpung hubunganmu dan laki-laki itu sedang retak, sepertinya aku harus mengambil keuntungan dari ini."

Medhya tersenyum tipis. "Aku sudah bilang, masih banyak hal yang mau aku raih," ujarnya. "Dan menikah bukan salah satunya."

"Kenapa?"

"Kalau aku menikah, pekerjaanku akan berhenti."

"Aku tidak akan memintamu berhenti bekerja kalau itu yang kamu takutkan."

Medhya menoleh. "Aku nggak bisa jadi istri yang baik buat kamu, Bar."

"Tapi aku akan berusaha jadi suami yang baik buat kamu,"

"Barra," desah Medhya lagi. "Menikah nggak segampang itu,"

"Dan tidak sesusah itu juga, kan?" tanya Barra balik. Lelaki itu membelokkan kendaraannya selagi menambahi. "Aku dengar kabar kalau laki-laki itu akan bertunangan dengan perempuan lain. Kamu sudah tahu?"

Medhya terdiam. Enggan menjawab.

"Gosipnya sudah menyebar di kalangan bisnis, Medhya. Dan saat pertama kali tahu, aku merasa senang sekaligus marah," ucapnya. "Aku senang karena dengan begitu, kesempatanku untuk mendapatkan kamu jadi makin besar. Tapi disisi lain, aku marah karena membayangkan apa yang kamu rasakan saat itu."

"Bukan berarti aku akan bertindak gegabah dan mengorbankan kamu juga," jawab Medhya cepat. "Look, hubungan kita sangat baik sampai detik ini. Aku selalu membutuhkan kamu, dan buatku, kamu lebih penting dari laki-laki manapun yang kukenal sekarang."

"Tapi tidak bisa lebih penting dari si Prambudi itu," ucap Barra dengan tenang.

"Kalau dengan menikahi kamu perasaanku ke dia bisa hilang seketika, aku akan langsung melakukannya tanpa pikir panjang." Medhya menghembuskan napas berat. "Tapi enggak, kan?"

Ada jeda sejenak diantara mereka berdua.

"Aku tetap berharap, kamu akan menjawab 'iya' suatu hari nanti." Putus Barra dengan helaan napas panjang.

Medhya membuang napasnya dengan gusar. Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan kemudian berujar pelan.
"Kita jangan bahas ini lagi."






****





"Sedang apa kalian disini?" Langkah Ginan terhenti di ruang tengah. Di pandanginya dua perempuan beda usia itu dengan heran. "Kapan Mama ke Jogja?"

Wanita itu langsung menghambur pada anaknya, menarik sang putra ke sofa. "Duduk disini, ada yang mau Mama katakan ke kalian berdua." Ia tersenyum lebar begitu melihat Ginan bersebelahan dengan Zoya. "Wah, kalian serasi sekali!"

STROBERI DAN KOPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang