EMPAT PULUH ENAM : BERADAPTASI
"Sini aku bantuin,"
"Nggak usah, aku bisa sendiri." Perempuan itu sudah lebih dulu mengambil kopernya sebelum Ginan sempat mengangkatnya.
Ginan menghela napas panjang. Melirik Medhya cukup lama, sampai gadis itu berlalu lebih dulu ke dalam rumah. Sambil menggeret koper, Ginan mengikuti langkah Medhya yang masih bungkam sejak kejadian sore tadi. Lagi dan lagi, Medhya tak pernah bisa diajak bicara ketika perasaannya sedang tak bagus seperti ini.
"Mas Ginan, Mbak Medhya tangannya --"
Perkataan Bi Nani belum usai sebab Medhya sudah lebih dulu menutup pintu kamar, membuat suara berdebam pelan. Tak begitu berisik memang, hanya saja, aura tak enak gadis itu menyebar ke seluruh ruangan.
"Bi, minta tolong beliin salep buat luka," Ginan mengambil dompet di saku celananya. Meloloskan beberapa lembar uang kemudian menyerahkannya kepada Bi Nani.
"Nggak usah, Mas Ginan." Bi Nani menolaknya. "Saya punya, kok. Saya sendiri kan sering kena pisau kalau lagi masak. Sek sebentar tak ambilkan."
Wanita itu bergerak lincah, seolah mengabaikan usia yang sudah tak lagi muda. Tak berapa lama, ia kembali dan memberikan obat oles pada Ginan. "Ini dioles-olesin aja ke lukanya. Cepetan sana, Mas." Setelahnya, Bi Nani mendorong Ginan masuk ke kamar.
Ginan menarik napas panjang sebelum melangkahkan kakinya masuk, ia sempat berdekhem singkat kemudian memantapkan diri membuka pintu. "Say--" tatapan Ginan dan Medhya beradu. Keduanya saling pandang untuk beberapa saat sampai akhirnya senyum miring Ginan tercetak rapi. Gerakan tangan Medhya saat sedang melepaskan bra-nya terhenti seketika. Perempuan itu buru-buru meraih handuk diatas kasur, sementara Ginan langsung mengunci pintu kamar.
"Asik, mau mandi, ya? Aku ikut," Ginan mencampakkan kopernya ke lantai.
Persetan juga dengan obat oles segala macam. Ia tidak peduli itu semua. Ginan sibuk melepaskan anak kancingnya sampai habis dan membuang kemejanya sembarangan."Enggak-enggak, aku nggak mau," Medhya menepis tangan Ginan yang langsung menyentuh dadanya. "Maaas, no!" Medhya berkelit dari bibir Ginan yang turun ke leher. "Oh my God! Prambudi, stop!"
Ginan mengangkat kepala sejenak, menatap Medhya dengan wajah sedih untuk beberapa saat. "Nggak boleh beneran?"
"Aku capek," Medhya memutar mata melihat tampang Ginan yang penuh tipu daya itu.
"Sayang," rayunya, mengecupi bahu Medhya lembut, menyingkirkan handuk yang tadi di lilit ke dada begitu saja, kemudian mengangkat tubuh Medhya keatas gendongan.
Medhya melingkarkan kedua kakinya di pinggang Ginan. Tangannya berpegangan pada bahu sang suami yang sedang cengengesan dengan maksud tertentu itu.
"Nggak apa-apa sebentar aja,"
"Ah, terserah kamu lah!" Medhya menyibak rambut panjangnya ke belakang saat bibir Ginan mulai memagutnya lembut.
"Sambil mandi?"
Medhya menggeleng. "Di kasur aja. Pinggangku pegel,"
"Kalau di kasur, lama nggak apa-apa?"
Medhya memukul bahu Ginan dengan kesal.
"Jangan ngelunjak!"
Lelaki itu tersenyum tipis sambil mengecup bibirnya lagi. Berjalan perlahan, kemudian menurunkan tubuh Medhya ke kasur dengan hati-hati. Ginan merangkak diantara kedua pahanya sambil tertawa kecil.
"Jangan yang aneh-aneh dulu, aku lagi nggak mood." Medhya mengalungkan tangannya di leher Ginan, kemudian mulai membalas pagutan lelaki itu dengan lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
STROBERI DAN KOPI
Romance[Season kedua dari : Do you remember your first cup of coffee] Bahwasanya setelah patah dan hancur lebur bersama kehilangan bertubi-tubi yang ia rasakan di masa lalu, sebuah luka amat besar masih menghuni hatinya. Medhya sadar bahwa hatinya tak siap...