LIMA PULUH DUA : KEHADIRAN DAN PERNYATAAN
Medhya baik-baik saja sebelumnya.
Tapi setelah tahu ada makhluk lain yang menumpang hidup di tubuhnya, mendadak ia jadi banyak drama!Dulu, saat nonton film yang berkaitan tentang ibu hamil, Medhya seringkali berdecak dan meremehkan.
"Masak sih, cuma gara-gara segumpal darah nempel di rahim, terus kita jadi manja dan lemah? Lebay. Itu semua cuma sugesti."
Begitu perkataannya dulu.
Dan sepertinya, Tuhan memang maha adil.
Kesinisan Medhya itu, dibalas kontan detik ini. Mendadak Medhya ingin berlutut dan memohon ampun pada segenap ibu-ibu hamil di televisi yang pernah ia beri tanggapan sembarangan dulu.Medhya menggersah lagi. Sore kemarin, ia muntah-muntah sampai langit gelap. Saat malam, Medhya merasa agak enakan. Tapi subuhnya, mual itu datang lagi hingga ia sibuk bolak-balik kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya.
Untung saja ibu mertuanya anteng sekali setelah konfrontasi dengannya kemarin malam. Kalau tidak, mungkin sampai hari ini Medhya masih harus menjadi babu dan juru angkut seperti biasanya.
Kepala Medhya jadi pusing. Tubuhnya makin terasa berat dan malas diajak bergerak. Dan, astaga. Medhya benci sekali karena ia mendadak mual tiap kali melihat makanan di meja.
Padahal, Medhya lapar sekali. Ia ingin makan. Tapi baunya ... Ugh ...
"Mbak Medhya mau tak kerokin? Kayaknya masuk angin itu," Bi Nani masih setia bolak-balik ke kamar sejak subuh tadi. Menemaninya jadi satpam kamar mandi dadakan.
"Makanya Mbak, jangan lupa sarapan. Orang kalau nggak mau sarapan, memang gampang sakit."
Medhya bergelung di selimut. Meringkuk lagi.
"Nggak kerja lagi, Mbak?"
Medhya menggeleng. "Saya ngantuk, Bi. Mata saya nggak bisa diajak melek."
Jangan-jangan, makhluk di perutnya juga lah yang selama ini membuat Medhya sering kesiangan?
"Mau makan nggak, Mbak?"
Medhya menggeleng.
"Sini Mbak, tak urut perutnya biar enakan."
Sebelum Bi Nani berhasil menyentuhnya, Medhya langsung berpaling, memegangi perutnya dengan kedua tangan. "JANGAN, BI."
Ada makhluk hidup disini. Batin Medhya sambil berkedip-kedip sejenak. Lantas ia berdekhem pelan saat menyadari tatapan curiga sang asisten rumah tangga.
"Ooh," Wanita itu manggut-manggut paham. "Ndak sakit to," ia tersenyum misterius, sementara Medhya masih sibuk pura-pura tak tahu. "Mbak Medhya masih mual?"
Diingatkan begitu, Medhya langsung mual seketika.
Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan, kemudian berlarian ke kamar mandi diikuti Bi Nani.
Medhya memuntahkan sisa-sisa tenaganya. Ia langsung terduduk lemas setelah puas mengosongkan isi perut sendiri.
Bi Nani memegangi rambutnya kebelakang. Memandangi dengan iba. "Ya sudah, Mbak. Dibuat tiduran saja, wes."
Medhya mengangguk lemah. Di tuntun Bi Nani, ia kembali ke kasur dan menimbun dirinya sendiri dengan selimut.
"Bi,"
"Iya, Mbak? Butuh apa?"
"Saya mau minta tolong," Medhya berbisik amat pelan. "Mama ... jangan sampai tahu soal ini."
Bi Nani pikir, sang nyonya akan membuat kejutan. Maka, iapun mengacungkan jempol dan mengangguk dengan semangat. "Siap, Mbak!"
Padahal aslinya, Medhya hanya belum tahu harus berbuat apa. Perkataan Gracia kemarin malam masih terngiang di kepalanya. Sekarang, ia tak mau berpikir dulu. Ia hanya mau tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
STROBERI DAN KOPI
Romance[Season kedua dari : Do you remember your first cup of coffee] Bahwasanya setelah patah dan hancur lebur bersama kehilangan bertubi-tubi yang ia rasakan di masa lalu, sebuah luka amat besar masih menghuni hatinya. Medhya sadar bahwa hatinya tak siap...