EMPAT PULUH DELAPAN : BELUM MENYERAH
"Kalau kamu tidak keberatan, Zee. Aku ingin lebih dekat dengan kamu."
Kalimat itu, sudah puluhan tahun berlalu. Lama sekali. Tapi bagi Zoya, ia masih mengingatnya sebaik itu. Seolah-olah, Ginan baru mengatakannya kemarin. Keinginannya pada lelaki itu masih sama seperti dulu. Tidak berkurang sedikitpun meski ia tahu, kesempatannya sudah musnah.
Kata 'seandainya' masih sering terngiang di kepalanya. Seandainya dulu ia tak kekanakan dan menyerah terlalu cepat hanya karena sedikit gangguan, sudah pasti saat ini Ginan bersamanya. Seandainya ia lebih nekat saat mereka kembali bertemu, sudah pasti Ginan bersamanya. Dan seandainya Zoya tak memberi sedikitpun celah pada gadis itu, sudah pasti Ginan bersamanya.
Ini semuanya terjadi terlalu cepat. Zoya belum punya gambaran apa yang harus ia lakukan begitu Ginan memberitahukan berita pernikahannya.
Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, Zoya mengurung diri di kamar. Berpikir dan menimbang-nimbang banyak hal. Ibu dan ayahnya bolak-balik menelepon, menanyakan kabar. Tante Gracia juga begitu. Mereka bertiga tampaknya paling tahu, betapa hancur perasaan Zoya sekarang.
Setiap kali ke kantor, bertemu dengan Ginan, rasanya menyakitkan. Membayangkan ada perempuan lain yang akan mengisi hari-hari lelaki itu, bukan hal mudah baginya. Zoya tahu ini salah. Tapi, ia tidak bisa menyerah begitu saja.
Setidaknya, pernikahan mereka belum diumumkan ke khalayak umum. Masih ada sedikit kesempatan. Ya, sedikit saja sudah cukup baginya. Zoya tidak akan menyia-nyiakan ini lagi.
"Aku tidak apa-apa, Tante." Zoya memaksakan sebuah senyum ketika sore itu, Gracia berdiri di depan pintu apartemennya. "Kenapa Tante tidak mengabari dulu kalau mau datang? Tahu begitu, aku akan menjemput Tante di bandara tadi."
Mereka berpelukan, saling berbagi perasaan yang sama. Zoya tahu, Gracia juga sama kecewanya dengan keputusan yang sudah Ginan buat.
"Tante takut merepotkan kamu,"
Mereka beriringan masuk. Begitu Gracia telah duduk di sofa, Zoya menanggapi dengan lembut. "Aku tidak pernah terganggu dengan Tante."
"Maafkan Ginan, ya, Sayang." Wanita itu mengelus rambutnya penuh penyesalan.
Matanya berkaca-kaca ketika bicara. "Kamu harus ingat ini, Zoya. Tante tidak peduli siapa yang dinikahi Ginan. Bagi Tante, kamu tetap menantu idaman dan paling Tante sayang."Senyum tipis Zoya tersungging. "Terimakasih, Tante." Zoya membalas genggaman tangan Gracia dengan anggukan pelan. "Kami tidak apa-apa. Saat ini, aku dan Mas Ginan masih berteman."
"Itu bagus. Kalian harus tetap berteman," ucap Gracia dengan cepat. "Tidak ada yang tahu masa depan. Sekarang, Ginan mungkin sedang kasmaran dengan gadis itu. Tapi kedepannya, siapa tahu--"
"Tante," Zoya memotong perkataan Gracia sambil menggigit bibir. Tampak ragu-ragu sebelum melanjutkan. "Aku tidak bisa menyerah atas Mas Ginan begitu saja," ia berujar lirih. "Menurutku, ini tidak adil. Aku belum sempat melakukan apa-apa, gadis itu sudah lebih dulu memotong jalanku."
Gracia mengangguk paham. "Tante tahu perasaanmu,"
"Maafkan aku, Tante. Aku mungkin akan membuat masalah kedepannya. Aku harap, Tante tidak membenciku untuk apa yang akan aku lakukan nanti."
"Zoya," panggil Gracia lembut. "Jangan lakukan sesuatu yang membuat Ginan membencimu." Ucapnya. "Tante masih mendukungmu, tapi untuk sekarang, mari kita lakukan perlahan-lahan, ya?"
"Perlahan-lahan?"
Gracia mengangguk lagi. "Setahun pertama dalam pernikahan adalah masa yang sangat sulit dilalui. Apalagi, Ginan orang yang sangat sibuk. Tante dengar dia akan bolak-balik New York karena gadis itu tidak ingin pindah darisini. Jadi .." tatapan Gracia pada Zoya makin serius. "Kamu bergabunglah dengan tim Ginan bagaimanapun caranya. Ikutlah kemanapun Ginan pergi. Jangan biarkan dia jauh-jauh darimu." Lanjutnya. "Kamu tidak akan mengerti maksud Tante sekarang. Tapi, apapun bisa terjadi ketika laki-laki dan perempuan menghabiskan banyak waktu bersama. Itu juga bisa terjadi antara kamu dan Ginan."
KAMU SEDANG MEMBACA
STROBERI DAN KOPI
Romance[Season kedua dari : Do you remember your first cup of coffee] Bahwasanya setelah patah dan hancur lebur bersama kehilangan bertubi-tubi yang ia rasakan di masa lalu, sebuah luka amat besar masih menghuni hatinya. Medhya sadar bahwa hatinya tak siap...