47

36K 3K 150
                                    

EMPAT PULUH TUJUH : BELUM BERAKHIR




"MBAK YAYA DILAMAR! MBAK YAYA MAU MENIKAH!"

"MANA SINI GUE MAU LIHAT CINCINNYA!"

"GILA! INI JADUL BANGET KAYAK CINCIN KAWIN MBAH GUE!"

"Berisik," Medhya memotong adegan sikut-sikutan di hadapannya kemudian menarik tangan dari atas meja. Mengusir si anak baru, Dara dan Dilla dengan tatapan mata datar. "Minggir, aku mau kerja."

"Pantesan beberapa waktu ini Pak Barra juga nggak kelihatan di kantor, tahunya lamaran sama nih orang," cibir Dara dengan tatapan sok tahu. "Biar apa sih, lamaran diem-diem begitu? Maudy Ayunda juga bukan, sok-sok an rahasia,"

Medhya berdecak. "Bukan sama Barra!" Tegasnya. "Dan ..." Medhya memijit pelipisnya yang pening kemudian melanjutkan, "...ini memang cincin kawin. Aku sudah nikah, tapi bukan sama Barra."

Ketiganya saling pandang sejenak kemudian Dilla berteriak.

"OMO-OMO! YAYA HAMIDUN!" Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Berseru heboh.

"Astaghfirullah hal adzim, Mbak Yaya." Si anak baru tampak termakan perkataan Dilla dengan segera. "Nggak baik itu, Mbak!"

"Udah gue duga. Ini anak diem-diem pergaulan bebas!" Dara menunjuk wajah Medhya penuh tuduhan. "Bilang ke gue, siapa bapaknya!"

Medhya mendesah pelan. "Terserah kalian, lah."

"Mbak Yaya ngidam sesuatu, nggak? Nanti saya cariin." Naira maju beberapa langkah, menatap Medhya dengan mata bundarnya yang berpendar serius.

"Laki lo kerja apa? Bukan pengangguran, kan?" Dara menyelak Naira dengan tanya asal jadi. "Tunggu, bukan suami orang, kan?!" Prasangka Dara makin ngawur.

"HAN SEO HEE?! YAYA JADI PELAKOR KAYAK HAN SEO HEE DI DRAMA THE WORLD OF THE MARRIED?!"

Medhya memutar mata.

"Yaay, hari in-- ini pada ngapain ngumpul disini?!" Karen berseru galak, yang otomatis membubarkan keramaian di meja Medhya. Dara, Dilla dan anak baru sigap bubar dan kembali ke tempatnya masing-masing begitu melihat Karen mendekat. "Woooh! Di bayar gede bukannya kerja keras malah pada ngerumpi!" Karen meletakkan sebuah map di depan Medhya.

"Apa ini?"

Sambil menunduk, Karen berbisik. "Perpanjangan kontrak kerjasama antara By.Us sama GMK."

Medhya memutar mata. "Dulu katanya cuma tiga bulan. Sekarang, udah hampir setahun masih diperpanjang lagi. Aku tuh capek bolak-balik dua kantor terus!"

Karen melanjutkan perkataannya dengan santai, seolah-olah tak pernah mendengar protes barusan. "Itu udah gue tanda tangani. Nanti bawa balik, kasih ke laki lo."

"Apa-apaan, Mbak Karen nggak profesional! Mencampur adukkan urusan pekerjaan dan urusan pribadi!"

"Gue bukannya mencampur adukkan urusan. Tapi, laki lo sibuk banget sampai kami nggak nemu jadwal yang cocok sampai bulan depan. Lagian itu kontrak udah tinggal di cap sama stempelnya Pak Ginan doang, kok. Habis itu lo bawa ke kantor lagi, balikin ke gue."

Medhya berdecak. "Kalau begitu, aku minta asisten tambahan!"

"Apa-apaan, nggak nyambung. Tiba-tiba minta asisten tambahan segala. Itu si Naira--"

"Naira juga keteteran kalau disuruh begini terus, Mbak! Apalagi dia masih baru. Aku juga belum sempat ngajarin dia banyak hal." Medhya bersungut-sungut.

"Ya udah nanti gue bilang ke HR. Sekarang lo handle sendiri lah, sebisanya." Karen mengendik santai.

Medhya mengambil map tersebut lantas memasukkannya ke laci. Ia menahan Karen sebelum perempuan itu pergi. "Duduk dulu, Mbak. Aku mau ngomong penting."

STROBERI DAN KOPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang