DELAPAN BELAS : MENJADI WANITA
"Lo yakin nggak perlu ke rumah sakit?" Karenina menyodorkan plester, kasa, kapas dan obat merah kepada Medhya yang sedang berkaca sambil mengobati luka di jidatnya. Karen meringis, menatap sudut bibir Medhya yang juga berdarah dan pipinya yang memerah, bekas tamparan. Ia melirik lengan gadis itu pelan. "Siku sama dengkul lo juga baret, tuh."
"Oh, iya. Nggak berasa." ucap Medhya sambil menatap sikunya sendiri. Lantas ia mengendik santai sementara Karen masih cemas bukan main. "Aku yang luka, kenapa jadi Mbak Karen yang nangis, sih." Ia mengejek bekas airmata di pipi Karen, serta tampangnya yang berlebihan.
"Ya menurut lo aja sendiri!" bentaknya, sebal. "Seumur hidup baru kali ini gue lihat gelut live streaming kayak begitu. Mana nggak seimbang banget, cowok lawan cewek."
"Tapi menghibur, kan?" Medhya tersenyum tipis, kemudian meringis karena bibirnya terasa sakit digerakkan. "Sshh, aduh, sakit juga ternyata."
"Ya iya lah sakit! Kalau gue jadi lo, pasti sekarang gue lagi di ruang ICU! Berdarah-darah begitu! Minggir, biar gue aja yang nempelin!" Ia mengambil alih plester dari tangan Medhya, kemudian menempelkannya di keningnya yang terluka.
"Its okay, begini doang."
"Lo nggak mau gabung jadi anggota Avengers, gitu? Gantiin Natasha rumanof yang mati jadi tumbal batu akik itu?" Sindir Karen dengan kesal. Air mata tiba-tiba meluncur lagi di pipi saat melihat luka di wajah Medhya. "Kayaknya lo merasa kebal hantaman, ya? Lo pikir nyawa lo ada sembilan?"
Medhya mengulum senyum tipis. "Nggak usah nangis. I'm fine. Really. Look, aku masih hidup, Mbak."
"Lo bisa jadi fine. Tapi, gue nggak yakin, Pak Mirza lagi di apain sama si Barra di dalam sana." Ia melirik ruangan pemimpin redaksi alias Akbarra Hadinata, adiknya sendiri dengan ngeri.
"Naira mana?" tanya Medhya, baru sadar sejak tadi Naira menghilang dari depannya.
"Di panggil masuk sama Barra, bareng Pak Mirza."
Medhya mengangguk dan ber'oh' pelan.
Ia melanjutkan mengobati luka-luka di tubuhnya yang bisa ia jangkau sambil sesekali melirik Karen yang masih tampak trauma."Gue tahu yang dilakukan Pak Mirza itu nggak benar," Karen mendesah berat. "Tapi dalam hal ini, lo juga salah. Nggak seharusnya lo ikut campur, ngerti? Apalagi selama ini kalian emang nggak akur. Harusnya lo menghindari perselisihan sama Pak Mirza, dong. Ini yang gue lihat lo malah mancing dia."
"Lagi-lagi aku harus nahan diri sementara ada manusia sampah berkeliaran di sekitarku? Gitu maksud Mbak Karen?" tanya Medhya dengan skeptis.
"Tapi lo jadi babak belur!"
"Luka kayak begini akan sembuh dalam beberapa hari. Tapi, ingatanku soal betapa brengsek orang itu dari tiga tahun lalu masih nempel di kepala sampai sekarang." Ketusnya, menimpali.
"Yay ..."
"Mbak Karen sadar nggak, sih, banyak pegawai perempuan yang resign tuh gara-gara kantor kita nggak aman lagi? Hal begini udah sering terjadi dari jaman aku masih magang dulu." Kata Medhya dengan serius. "Awalnya satu-dua aduan dibiarkan, dianggap angin lalu, atau justru pihak perempuannya yang dikira berlebihan dan sensitif. Lama-lama, orang kayak Pak Mirza nggak cuma satu di kantor ini. Makin banyak yang menormalisasi pelecehan verbal ataupun non verbal, karena mereka pede bahwa kelakuannya nggak pernah dapat teguran." tuturnya dengan emosi.
"Mbak Karen nggak ngerti gimana rasanya jadi orang yang pernah dilecehkan. Buat orang lain, itu cuma kejadian kecil. 'ah, cuma dikatain doang', atau 'cuma dipegang dikit aja', tapi buat korban, nggak gitu rasanya. Perasaan nggak nyaman sama diri sendiri dan selalu merasa nggak berguna setelah mengalami pelecehan itu bertahan lama, bahkan ada yang sampai mati masih trauma. Mbak Karen menganggap enteng hal ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
STROBERI DAN KOPI
Romance[Season kedua dari : Do you remember your first cup of coffee] Bahwasanya setelah patah dan hancur lebur bersama kehilangan bertubi-tubi yang ia rasakan di masa lalu, sebuah luka amat besar masih menghuni hatinya. Medhya sadar bahwa hatinya tak siap...