29

41K 3.2K 89
                                    

DUA PULUH SEMBILAN : UJI KELAYAKAN SAUDARA IPAR (II)




"Papaku bilang, aku tidak akan bisa melindungi kamu selama posisiku belum lebih tinggi darinya. Dan aku setuju itu."

Medhya terdiam sejenak, mendengar perkataan Ginan tanpa kata.

"Lalu aku memutuskan untuk bergabung ke PramIndo agar aku tahu, apa saja yang sebenarnya terjadi diantara kamu dan kedua orangtuaku beberapa tahun lalu," Ginan bergumam pelan. Menatap manik mata Medhya yang terlihat gentar menghadapi kata-katanya barusan. "Ada beberapa hal yang harus kamu jawab, Medhya."

"Aku harap ... Kita nggak akan pernah membahas hal ini selamanya." Dengan kerjap lembut, Medhya membalas. Ia mendekat lagi dalam pelukan Ginan, sementara lelaki itu menaikkan selimut diatas bahunya. "Aku harap kamu nggak tahu apa-apa."

"Apa saja yang mereka lakukan?"

"Banyak," bisik Medhya nyaris tak terdengar. "Bisa nggak kita bahas hal lain?" Namun, ia masih takut mengingat seluruh hal yang terjadi semenjak bertemu dengan kedua orang tua lelaki ini beberapa tahun silam. Tangan Medhya masih gemetar tiap kali mengungkit kejadian itu. "Kita baru mulai lagi. Aku takut hubungan ini--"

"Justru karena kita baru mulai lagi. Semuanya harus benar-benar jelas." potong Ginan dengan lembut. Menyentuh sebelah pipi Medhya dengan hati-hati lantas melanjutkan. "Aku tidak bisa berbuat apa-apa kalau kamu tidak cerita." Keduanya bertatapan cukup lama. "Ijinkan aku menyelesaikan semuanya dengan baik, demi kita berdua," bisiknya. "Kita harus berhasil kali ini. Aku akan melakukan apapun untuk hubungan kita. Jangan ada satu hal pun yang menghalangi kebahagiaan kita, Zaline."

Medhya mengerjap beberapa kali sebelum mengangguk pelan. Membasahi bibirnya dengan gugup seraya menjawab. "Sebelumnya, janji dulu denganku," ucapnya terdengar memohon. "Apapun yang kukatakan nanti, jangan sampai membuat hubunganmu dan kedua orangtuamu renggang."

"Kami sudah renggang jauh sebelum ini,"

Medhya menggeleng. "No. I mean ... " Ia mengusap dada Ginan dengan lembut. "Jangan lebih renggang dari sekarang."

Ginan mengendik dengan senyum tipis. "Pertama, ceritakan kapan dan apa saja yang terjadi di pertemuan pertama kalian."

Dan cerita empat tahun lalu mengalir dari bibir Medhya satu persatu. Tidak ada lagi yang coba ia tutupi sekarang. Sekalipun berkali-kali pula, Medhya harus mengatur napas karena ketakutan itu masih berkobar di matanya, ia tetap melanjutkan cerita yang panjang dan melelahkan tersebut sampai tuntas. "Mamamu memberiku uang," Medhya mengakhiri ceritanya dengan suara gemetar.

"Kamu mengembalikannya ke papaku." Sambung Ginan sambil mengelus kepala Medhya penuh sayang. "Jangan biarkan aku berprasangka buruk lagi."

Mata gadis itu masih jadi bagian paling jujur yang mudah di baca. Ada banyak luka yang baru disadari Ginan tersimpan disana. Luka-luka itu menjelaskan betapa banyak hal yang selama ini Ginan lewatkan. Dan mungkin karena itulah, ia pantas di tinggalkan bertahun-tahun lamanya.

"Dari mana kamu tahu?"

"Itulah sebabnya aku berani mengambil keputusan besar untuk bergabung di perusahaan keluarga, Medhya. Dengan begitu, aku bisa punya power untuk melihat transaksi apa saja yang pernah terjadi," ucapnya. "Bahkan sekarang ... Satu rupiah yang keluar dari dompet papaku harus lewat persetujuanku dulu." Ia tersenyum miring.

"Mengerikan." Komentar Medhya pendek. Sungguh-sungguh, sejujurnya. Bagaimana bisa, ada kekuasaan sebesar itu? "Tapi, Mas .." Medhya menggigit bibirnya pelan. "Aku pernah minta tolong ke papamu, untuk mengurus restoran Ayah yang saat itu sudah di gadaikan." Lanjut Medhya meneruskan.
"Berlaku juga untuk beberapa aset di Bali. Karena aku punya harapan, suatu saat nanti akan membelinya lagi."

STROBERI DAN KOPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang