TUJUH : PETAKA DI TEMPAT KERJA
"Nai,"
"Iya, Mbak!" Naira berlarian menghampiri Medhya dengan hanger di kanan dan kiri lengan. Gadis itu menatap sang atasan dengan wajah bingung. "Saya salah lagi ya, Mbak?"
"Bukan," Medhya sedang berkacak pinggang, setelah tadi menjadi MUA dadakan bagi para talent. Yah, terkadang jadi fashion stylist memang harus serba guna. Kalau MUA telat atau nggak datang, mereka harus bisa menghandle dunia permakeup-an juga. Kalau fotografernya yang nggak muncul, maka mereka yang mau tak mau jadi tukang fotonya, pokoknya, apapun harus di kerjakan tanpa banyak basa-basi.
"Bajunya belum kamu steam, ya?" Medhya melirik. "Kusut semua. Di steam dulu, deh. Kamu bisa, kan?"
"Bisa, Mbak."
"Sama saya mau ganti sepatunya. Jangan pakai yang ini lah, nabrak banget warnanya." Ia menyerahkan Chandelier sandals dari René Caovilla hijau pada Naira. "Tadi di wardrobe saya lihat Leather sandals-nya Bottega yang warna item. Sama ambilin scraft apa aja yang warna netral. Oh iya, kamu pilihin aksesoris buat mereka. Saya kepengen melihat selera kamu,"
Waduh. Naura mulai demam panggung sebab tatapan Medhya yang datar macam talenan.
"Agak cepat ya,"
Naira mengangguk dengan kepala puyeng. Gadis itu lari lagi ke wardrobe, mengganti pesanan Mbak Medhya sambil mengingat-ingat benda apa saja tadi yang di sebutkan.
Oke, Naira. Tenang. "Pertama ... Steam! Ah, iya. Steam-nya dimana, ya?" Naira mondar-mandir sampai menemukan benda itu di sudut ruangan. "Kedua ... Bottega Leather sandals ..." Ia membongkar setiap rak sepatu dengan hati-hati. Ketika ia menemukan barang yang di cari, senyumnya melebar. Gadis itu bangkit dengan semangat, menghampiri Medhya yang masih menata rambut talent.
"Mbak Medhya!"
"Jangan teriak, saya nggak budeg." Medhya menoleh sekilas, kemudian mengernyit. "Scraft-nya mana?"
"Hah?" Naira puyeng lagi. Ternyata, tugasnya ketinggalan satu. "Lupa, Mbak. Tunggu sebentar," setelah meletakkan barang bawaannya di meja, gadis itu balik lari lagi ke wardrobe.
Medhya mengamati gerak-gerik si anak baru sambil berdecak pelan.
"Ini udah bisa kok, kalau mau langsung take video. Nanti scraft-nya di pakai buat look selanjutnya aja," kata Medhya pada talent yang baru saja selesai ia dandani.
Sementara Naira sedang sibuk dengan tugasnya, Medhya melirik ponsel yang sejak tadi berkedip-kedip. Menampilkan nama pemanggil yang tidak berhenti mengganggunya sejak satu jam terakhir.
Ia pamit sebentar untuk mengangkat panggilan."Apa sih?! Ganggu, tahu nggak!"
Suara tawa pelan terdengar, "Sudah selesai?"
"Belum!" Medhya bersandar di dinding lorong. Menengok kanan kiri sebentar, memastikan tidak ada yang lewat atau menguping pembicaraan. "Aku peringatkan ya, Prambudi. Jangan mengganggu jam kerjaku atau aku akan blokir nomormu!"
"Kamu mau memblokir nomor yang punya perusahaan? Yang benar saja." tanya lelaki itu dengan santai. "Anyway, Sayang-"
"I've asked you repeatedly to stop calling me that, ya, Prambudi." potong Medhya cepat.
"Kamu dimana?" dan seperti dugaannya, Ginan tidak akan mendengarkan perkataannya sama sekali. "Aku baru selesai meeting. Sekarang lagi jalan ke studio."
KAMU SEDANG MEMBACA
STROBERI DAN KOPI
Romance[Season kedua dari : Do you remember your first cup of coffee] Bahwasanya setelah patah dan hancur lebur bersama kehilangan bertubi-tubi yang ia rasakan di masa lalu, sebuah luka amat besar masih menghuni hatinya. Medhya sadar bahwa hatinya tak siap...