SEMBILAN : PASANGAN SEIMBANG
"Kalau sedih jangan di tahan." Akbarra melirik Medhya singkat. "Kamu bisa membagi beban itu denganku,"
Medhya menggeleng pelan. Ia menghela napas panjang kemudian membalas. "Aku nggak mau bersandar ke kamu terus. Nanti kebiasaan."
"Justru itu yang aku mau. Menjadi tempat kamu bersandar meskipun cuma sebentar." Helaan napas lelaki itu menjeda kalimatnya. "Aku harap bisa membantumu sebisaku,"
"Nggak seharusnya aku memanfaatkan kamu begini." Medhya menoleh. "Aku minta maaf. Lain kali, aku akan berusaha menyelesaikan masalahku sendiri."
"Aku tidak keberatan di manfaatkan oleh kamu." Barra menyahut lagi. "Apa laki-laki tadi orangnya?" tanya Barra, menghentikan mobilnya di pertigaan sejenak. Sembari menunggu lampu kembali hijau, ia menatap wajah Medhya yang di penuhi kecemasan. "Apa kamu tidak bisa melupakan dia?" tanyanya lagi.
Medhya membalas pertanyaan tersebut dengan sorot lelah. "Aku nggak tahu, Bar." gadis itu menggeleng. "Aku pikir, semuanya sudah baik-baik aja. Tapi begitu melihat dia lagi ... Aku baru sadar, rupanya selama ini, aku belum kemana-mana." Ia berdecak pelan, menertawakan dirinya sendiri yang terdengar menyedihkan. "Banyak waktu yang sudah kamu sia-siakan buat aku. Tapi pada akhirnya, aku tetap mengecewakan kamu."
Barra menghela napasnya sejenak, meraih jemari Medhya dengan sebelah tangan yang bebas kemudian menggenggamnya erat. "Jangan khawatirkan aku," tuturnya. "Menjatuhkan hatiku ke kamu, mencintai kamu, dan memperjuangkan kamu, dari awal semua itu adalah keputusanku. Jadi, ketika apa yang sudah aku usahakan ternyata tidak berhasil ... patah hati itu cuma jadi salah satu dari sekian banyak konsekuensi yang harus aku tanggung." Di bawanya tangan Medhya ke depan bibir, di kecupnya punggung tangan gadis itu dengan lembut. "Kekecewaanku ini, tidak akan pernah sebanding dengan rasa syukur yang aku rasakan karena bisa menemukan kamu. Mengenal kamu adalah hal paling aku syukuri sejauh ini. Kamu tahu, kan?" Senyumnya, menggoda.
"Semakin banyak kamu ngomong, semakin aku merasa bersalah." Medhya mendengus perlahan. "Aku kayak tokoh jahat yang mematahkan perasaanmu berulangkali,"
Barra terkekeh kecil. "Kamu memang mematahkan perasaanku berkali-kali, tapi kamu tidak jahat."
"Itu pujian?"
"Bukan," Barra menggeleng pelan. "Itu bukti betapa aku tergila-gila sama kamu," lanjutnya, membuat Medhya memutar mata dengan geli. "Medhya,"
Yang dipanggil hanya bergumam pelan sebagai jawaban.
"Sekarang aku yakin satu hal,"
"Apa?"
"Aku mungkin tidak lebih baik daripada dia. Aku tidak lebih kaya dan tidak lebih mengenal kamu. Tapi, aku pastikan bahwa perasaanku ke kamu, jelas lebih besar daripada perasaannya."
Medhya tersenyum miris. Membenarkan diam-diam. Kenyataannya, baik dulu maupun sekarang, Ginan tidak pernah mencintainya. "Dalam hal ini, kamu pemenangnya."
"Great!" Lelaki itu tersenyum puas. Sembari menjalankan mobilnya lagi, ia melanjutkan. "Kalau dia tidak membuat kamu bahagia, datangi saja aku." Barra berujar santai. "Aku akan melakukan apapun yang aku mampu untuk mengusahakan kebahagiaanmu,"
"Kamu sadar, nggak? Selama ini, kamu selalu menawarkan diri menjadi ban cadangan buat hidupku?" Medhya bersandar dengan wajah serius, menatap Barra di remang-remang lampu yang membuat senyum lelaki itu terlihat amat sangat indah.
"Sadar."
Medhya menatap jari-jari mereka yang bergenggaman cukup lama. "Jangan tolol kayak aku ya, Bar. Jangan jatuh cinta sedalam itu, nanti kamu sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
STROBERI DAN KOPI
Romance[Season kedua dari : Do you remember your first cup of coffee] Bahwasanya setelah patah dan hancur lebur bersama kehilangan bertubi-tubi yang ia rasakan di masa lalu, sebuah luka amat besar masih menghuni hatinya. Medhya sadar bahwa hatinya tak siap...