EMPAT PULUH TIGA : BERSATU
Medhya terbangun ketika sebuah tangan yang kekar melingkari perutnya. Menariknya dalam sebuah pelukan erat.
Aroma maskulin yang khas langsung melingkupi indera penciuman saat bibir lelaki itu mengecupi tengkuk. Gadis itu menggeliat pelan. Melirik ke belakang dan menyerngit.Untuk meyakinkan diri bahwa makhluk di belakangnya bukan hanya khayalan, ia memukul lengan itu pelan. "Mas? Itu beneran kamu, kan?"
"Mm-hm, ini aku," gumam Ginan, menggesekkan pucuk hidungnya di leher Medhya. "Sori. Aku bangunin kamu, ya?" Lelaki itu berbisik pelan. "Jangan bobok lagi, aku kangen banget."
Medhya menarik napas lantas berbalik, menatap Ginan yang tengah tersenyum manis kearahnya dengan wajah lelah yang menghias. "Udah makan?" Suara Medhya terdengar serak. Ia berdekhem sejenak, masuk dalam pelukan saat lelaki itu menariknya mendekat, mengangguk singkat.
Jari-jari Medhya menyentuh wajah Ginan hingga lelaki itu terpejam. Ia sempat melirik jam dinding yang menunjuk pukul satu dini hari lantas bergumam protes. "Aku dapat laporan dari orang dalam, katanya kamu turun pesawat jam sembilan, kenapa baru sampai rumah jam segini, hm?"
"Kan mampir kantor pusat dulu tadi," jawab Ginan berbisik. Menyentuh jari-jari lentik yang ada di wajahnya kemudian mengecupinya lembut. "Si Antha memang kurang ajar, laporan sama kamu setengah-setengah. Sengaja biar aku kena omel."
Medhya terkekeh. "Capek nggak?"
"Enggak capek kalau lihat kamu,"
"Halah, mulutnya."
Ginan ketawa tipis. "Kamu ini nggak ada romantis-romantisnya. Dipuji malah begitu," bisiknya lagi. "Kiss dong, Sayang."
Medhya mendekatkan wajahnya, mengecup bibir lelaki itu dengan lembut. Ciuman yang awalnya pelan itu, berubah beringas ketika Ginan mulai membalas. Lucunya, Medhya masih setengah mengantuk saat Ginan menindihnya, melepas satu persatu kancing baju tidur yang melekat di tubuh Medhya, kemudian menggigit bibirnya seduktif. Lelaki itu, membuang kemeja dan pakaian yang melekat di tubuhnya dalam hitungan detik, lantas kembali mencumbu bibir Medhya dengan tergesa. Saat jari-jari panjang Ginan menyusup kedalam bra-nya, baru Medhya tersentak kaget.
"Eh-eh!"
Ginan menarik wajahnya sejenak, menatap Medhya dengan heran. "Kok ah-eh-ah-eh?" tanyanya, menaikkan sebelah alis tinggi-tinggi. "Di sentuh suami sendiri masak begitu responnya?"
"Suami?" Bibir Medhya menipis, lantas kepalanya memutar memori di gereja dengan lihai. Ia menepuk jidatnya pelan. "Oh, iya, ya. Aku lupa."
"Lupa kalau sudah menikah?" Ginan tampak tak suka dengan pertanyaannya sendiri. "Baru berapa hari sih, kutinggal?" Wajahnya berubah sesaat, sampai Medhya meraih tengkuknya dan melanjutkan ciuman mereka yang tadi terjeda.
Gadis itu nyengir sebentar. "Maaf. Aku pikir itu mimpi." Ia mengalungkan lengannya di pundak Ginan, menghela napas berat saat lelaki itu menyusupkan tangannya lagi, membelai kulit. "Lagian kamu ...ugh," Medhya mendongak saat bibir Ginan turun ke leher, membubuhkan ciuman-ciuman disana. ".. baru nikah langsung ditinggal kerja. Gimana aku nggak lupa?"
"Anthariksa memang sialan." Gumam Ginan, menjatuhkan kepala di dada Medhya. Menghela napas panjang dan kesal disana.
"Kok jadi bawa-bawa Mas Antha, sih?" Medhya menunduk, mengelus rambut Ginan dengan lembut seraya bertanya.
"Karena dia nggak becus ngurus jadwalku." Ginan mendongak. Menatap wajah sang istri yang jelita lantas terkagum sejenak. "Kamu kenapa cantik banget, sih?"
Medhya tergelak pelan. Masih mengelus rambut Ginan, ia membalas dengan lembut. "Iya lah. Istri siapa dulu?"
Ginan menyerngit jahil. "Istri siapa?" tanyanya, sambil meraba pinggang Medhya dengan senyum penuh rencana.
KAMU SEDANG MEMBACA
STROBERI DAN KOPI
Romance[Season kedua dari : Do you remember your first cup of coffee] Bahwasanya setelah patah dan hancur lebur bersama kehilangan bertubi-tubi yang ia rasakan di masa lalu, sebuah luka amat besar masih menghuni hatinya. Medhya sadar bahwa hatinya tak siap...