21

33.4K 3.3K 112
                                    

DUA PULUH : DIBALIK RENCANA






"Mas Gi--"

"Sstt,"

Sebelum Devintari menyentuh handle pintu ruang kerja Ginan, Anthariksa sudah lebih dulu menarik belakang kerah kemejanya. Membuat tubuh gadis itu terseret ke belakang dengan wajah heran.

"Apaan sih!" Setelah Antha melepaskan cekalannya, barulah Devin merepet. "Gue mau ngomong sama Mas Ginan, tahu!" Ia kembali bergerak lagi, hendak mengulangi langkahnya menuju Ginan. Namun lagi-lagi, Antha menyilangkan kakinya, menghalangi.

Sambil berkacak pinggang, Antha berujar pelan. "Jangan gangguin Ginan dulu. Dia lagi ... Hmmm, sinting." Ujarnya, dengan wajah sungguh-sungguh.

"Gue mau minjem mobil."

Antha menggaruk jidatnya kemudian mengendik. "Pakai mobil gue aja sana."

Devin berjengit. "Nggak mau lah, gila. Mobil lo bau sperma!"

"Haishh, mulutnya!" Anthariksa gemas ingin mencekik sang sepupu yang melirik dengan tampang jijik itu. "Ya udah naik elang aja sana. Udah miskin banyak mau!"

"Aaahhh, Mas Antha!" Ia menahan lengan Antha sambil menghentakkan kakinya. "Ambilin kunci mobilnya Mas Ginan dulu kalau memang nggak boleh ketemu!" Ia berkedip-kedip, merayu. "Pleaseee,"

"Pakai aja mobil anak Gatama. Nggak usah ribet dulu kenapa sih, Vin? Situasinya lagi nggak enak, nih!"

"Mana mungkin gue naik mobil murahan? Nanti kulit gue gatal-gatal!" Ia tak setuju lagi. "Pinjemin mobilnya Mas Ginan aja, pleaseee."

"Nggak bisa. Udah dibilang Ginan lagi nggak waras."

Devin baru tertarik dengan kata-kata Anthariksa saat itu. "Emangnya Mas Ginan kenapa, sih?"

"Gelut sama Medhya."

"Halah, begitu doang. Udah biasa."

"Ini bukan gelut biasa. Mereka gelutnya sampai si Ginan yang tolol dan bucin itu kehilangan gairah hidupnya. Dari kemarin nggak balik-balik ke rumah. Kerja melulu sampai gue yang ngelihat aja was-was, takut dia mati sambil nanda-tangangin berkas-berkas. Lo datang-datang malah mau merampok asetnya."

Devin mengernyit. "Emang separah itu?" Ia melongok ke dalam ruangan. Tentu saja nggak kelihatan. "Kenapa berantemnya?"

"Sekarang ini, lo kan udah jadi anak Gatama. Belajar cari tahu situasi yang terjadi sendiri. Pakai kepala lo buat kerja yang bener. Jangan nanya melulu kayak wartawan magang." Antha melepas cekalannya dari Devintari, kemudian menghela napas panjang. Ia merogoh saku dan menyerahkan kunci mobilnya pada sang sepupu. "Pakai mobil gue. Udah, jangan mendekati ruangan Ginan lagi. Jauh-jauh dari sini sampai gue bilang keadaan udah aman. Dengerin kalau ada orangtua ngomong!" bentaknya karena Devin masih celingak-celinguk mencoba mencari ide lain untuk menerobos ruangan Ginan. "Jangan ganggu Ginan dulu. Paham nggak, lo?!"

"Iya-iya! Ah!" Devin akhirnya meraih kunci mobil Antha sambil bersungut-sungut. Ia balik badan, meninggalkan lantai dua puluh, tempat dimana ruangan Ginan berada.

Tapi, tak berselang lama dari kepergian Devintari, pintu ruangan Ginan terbuka.

Antha kaget melihat Ginan yang sudah bersiap pergi.

"Mau kemana?"

"Ikut gue ke Bali sekarang." Ginan berujar pendek. Tidak bersemangat. "Jeremy udah ready. Lo siap-siap, tiga puluh menit lagi kita terbang."

"Mau ngapain ke Bali?" Antha mengekori langkah Ginan dengan penasaran. "Pak, kita full meeting dari sore sampai malam nanti, lho."

"Alihkan jadwal meeting gue selama beberapa hari nanti ke Leon, biar dia yang tangani." Ia berkata dengan tenang. "Weekly report serahin ke Pak Hanafi. Dan kalau lo ada kerjaan yang belum selesai, alihkan ke Andreas."

STROBERI DAN KOPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang