TIGA : SANG PENDAMBA
"... jadi aku juga udah kirim draft-nya ke Saveikon, tapi aku rasa kita masih perlu bikin plan lain, sih. Mbak Karen kan tahu sendiri Saveikon itu gimana."
"Okay. Nanti gue omongin sama yang lain. Sekarang lo urusin yang kemaren dulu aja, dek. Diantara kita, cuma lo yang bisa menghandle klien itu." Karenina menepuk pundak Medhya pelan.
Sedang gadis itu memutar mata. "Aku udah berkali-kali bilang nggak mau."
Karen menyipit. "Dan gue juga udah berulang kali bilang, kita nggak bisa mundur apapun alasannya. Ini bukan soal mau atau nggak mau, Yay. Tapi, ini udah menyangkut kontrak bernilai puluhan miliar!"
Medhya berdecak, kehabisan kata-kata. Ini salahnya sendiri, kenapa tidak mengkroscek lebih lanjut soal perusahaan yang akan ia datangi sebelum menandatangani kontrak. Harusnya, kalau ia lebih teliti sedikit saja, pasti nggak akan begini.
"Lagian bulan ini kayaknya kita tuh nggak dikasih napas beneran, deh. Dari model, iklan, sampai tetek-bengeknya pun nggak ada yang bener." Karen ngomel lagi. Sebagai fashion direktur di By.Us ia sudah cukup keliyengan dengan banyaknya deadline saat ini. "Mana tiba-tiba banyak yang resign! Mau meledak nih kepala gue!"
Mereka jelas-jelas kekurangan orang.
Medhya mengangguk dengan simpati. "Mbak Karen tahu nggak, sih? Aku bahkan udah lupa gimana rasanya pulang tepat waktu. Setiap hari harus lembur. Mana gajinya nggak naik-naik, lagi! Kapan aku kaya kalau begini ceritanya?"
Karen pura-pura tuli sejenak. "Kalau mau kaya, lo tinggal kawinin adek gue. Beres."
"Oke. Mungkin aku memang nggak di takdirkan kaya kalau begitu syaratnya,"
Karenina ngakak sambil menggebuk lengan Medhya. "Belum aja lo kena pelet orang Kalimantan! Kami ini mistis, lho!"
"Bukannya sombong. Tapi aku rasa, jampi-jampi jenis manapun udah nggak akan mempan di hidupku, Mbak. Setan jaman sekarang pasti juga milih-milih dulu sebelum masuk badan orang."
"Iya juga, ya." Karen masih tergelak.
Medhya tersenyum sambil merapikan kertas-kertas di mejanya. "Aku mau minjam baju ke butik, buat pemotretan Senin depan."
"Okay, habis ini kan gue bikin rapat darurat sama anak-anak devisi sebelah, nih. Terus nanti hasilnya gue kabarin ke elo via email, ya? Gimana?" Karen bertanya.
"Sip."
Baru saja percakapan selesai, sebuah suara datang dari arah pintu masuk ruangan.
"Yayaaa,"
Karenina dan Medhya saling pandang mendengar teriakan barusan. "Tuh anak kapan di pindahin sih, Mbak? Bikin stres aku aja, deh."
Karen mengerjap. "Kalian kan udah dari tiga tahun yang lalu jadi satu tim. Masak stresnya baru sekarang?"
"Yayaaa ... My beibeh ... jiwaku kesepian, niiiih."
Medhya memijit keningnya sebentar sebelum melongokkan kepala diatas kubikel. "Ada apa Andara?"
"Baju buat pemotretan Senin depan udah lo urus?"
"Menurut kamu, sekarang ini aku lagi ngapain?" balas Medhya datar. "Asalkan kamu nggak ganggu lagi, kerjaan ku selesai dalam tiga puluh menit."
"Dih. Galak amat coba jadi cewek." Andara mendumel. Ia mendekat lalu membelalak ketika melihat Karenina, sang kepala tim ada disisi Medhya juga. "Eh, ada Mbak Karen."
"Apa lo cengengesan?" Karen bertanya, sok judes.
"Main kuy pulang kerja nanti? Mbak Karen ikut juga boleh, bayarin tapi, hehe."
KAMU SEDANG MEMBACA
STROBERI DAN KOPI
Romance[Season kedua dari : Do you remember your first cup of coffee] Bahwasanya setelah patah dan hancur lebur bersama kehilangan bertubi-tubi yang ia rasakan di masa lalu, sebuah luka amat besar masih menghuni hatinya. Medhya sadar bahwa hatinya tak siap...