35

40.1K 3.3K 96
                                    

TIGA PULUH LIMA : SEPERTINYA KITA AKAN BERSAMA




Begitu mobil terparkir di depan halaman rumah, Medhya langsung merentangkan kedua tangannya pada Ginan dengan manja. "Mas, gendong ..."

Ginan melirik Medhya dengan heran sementara Leon yang menyetir di depan, tetap tidak bersuara. Enggan memperlihatkan diri sejak menjemput mereka di bandara tadi. "Tumben."

"Aku capek," Medhya berujar lelah. "Gendong,"

Ginan berdecak. Ia turun lebih dulu kemudian berputar ke sisi kiri, membuka pintu mobil lantas mengangkat tubuh gadis itu dalam gendongan. Ia berhenti sejenak untuk bicara dengan Leon. "Turun, Le. Tolong bukakan pintu untuk kami."

"Baik, Pak."

Mata Medhya terpejam rapat, ngantuk berat. Tangannya terkalung di leher Ginan dan wajahnya menempel di bahu.

"Langsung ke kantor. Gantikan saya pimpin rapat bulanan. Nanti agak sorean saya nyusul." Ginan masih bicara dengan Leon sebelum lelaki itu meninggalkan rumah. "Oh iya, kamu siapkan tempat yang lebih luas, ya. Hari ini ada beberapa anak PramIndo yang akan ikut evaluasi kinerja."

"Baik, Pak. Selamat istirahat. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi saya."

"Thanks,"

Medhya baru mengeriyipkan mata ketika Ginan menurunkannya di kasur. Lelaki itu bergabung di sebelahnya dengan helaan napas panjang. Terlentang.

Medhya mendongak, merangkak naik ke atas tubuh Ginan kemudian tersenyum manis. "Teman kamu yang tadi udah nggak ada, kan?"

Ginan tertawa pelan kemudian mengangguk. "Katanya capek?" ia melingkarkan tangannya di pinggang Medhya saat gadis itu menyerangnya dengan ciuman bertubi-tubi.

"Memang." Ucapnya. "Badanku juga berasa nggak enak. Semalam aja aku mimpi buruk." Ia bergumam dengan raut mengadu.

"Semalam kamu kan mabuk."

Medhya menggeleng. "Aku mimpi buruk." Ia bersikukuh. "Aku ketemu Mama kamu lagi di mimpi."

"Kamu ..." Ginan menghela napas berat. "...selalu begitu setiap kali ketemu Mama?"

Medhya mengangguk pelan. Ia menumpukkan kedua tangan di dada Ginan sembari bergumam. "Aku mau ngomong sesuatu, boleh?"

"Ngomong apa?" Ginan mengelus pipi Medhya dengan lembut.

"Aku mau nikah." Bisiknya.

"Huh?"

Sambil nyengir, Medhya mengulang perkataannya. "Aku bilang aku mau nikah. Kamu mau nggak jadi pengantin prianya?"

Ginan mengerjap. "Ini bercanda apa serius?"

"Serius lah." Gadis itu nyengir. "Aku udah pikirin ini cukup lama. Di tambah lagi, setelah aku dapat cincin dari Eyang kamu, aku makin yakin. Kayaknya aku udah cukup nyiksa kamu selama ini. Jadi ... Apa nggak sebaiknya kita nikah aja?"

Ginan tertawa pelan kemudian mengangguk. "Yuk. Kapan? Besok?"

Medhya menyipit. "Kalau ngomong jangan seenak dengkulmu," ucapnya sambil mengelus rahang lelaki itu dengan lembut. "Aku ngurus cuti dulu."

"Setelah menikah masih mau kerja?"

"Kalau kamu nggak ngebolehin aku kerja, mendingan kita nggak usah nikah."

Ginan tertawa gugup. "Boleh lah."

"Nice! Jadi, aku akan urus cuti dulu beberapa hari. Terus--" perkataan Medhya terjeda sebab Ginan menarik belakang lehernya dengan lembut, mengecup bibirnya cukup lama.

STROBERI DAN KOPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang