DUA PULUH : DIBALIK RAHASIA
Sejujurnya, Medhya tidak tahu kenapa ia merasa bersalah sekarang. Padahal, ia tidak melakukan apa-apa. Kenapa rasanya Medhya baru saja tertangkap basah berbuat curang, coba?
Ini membingungkan.
"Tidak ada yang mau kamu katakan?" Ginan menyerngit, menagih penjelasan. Ia menyorongkan kartu pegawai sementara milik Medhya di meja, menunggu gadis itu menjawab. "Zaline,"
Tapi, Medhya tidak tahu apa yang harus di jelaskan pada pria ini. Maka, iapun menjawab sekenanya. "Ada masalah kecil di kantor. Ini cuma .. yah, memar sedikit. Besok juga hilang."
"Masalah kecil?" ulang Ginan, tampak tidak puas.
Medhya mengendik. "Di banding apa yang sudah aku lewati dulu, memang benar ini nggak ada apa-apanya."
"Siapa namanya?" Ginan mengeluarkan ponselnya dari saku. Membuat Medhya mengangkat alis, bingung. Dengan tatapan tertuju lurus pada Medhya, Ginan meletakkan ponselnya di telinga saat telepon tersambung. "Halo, Leon. Saya mau kamu pulang ke Indonesia, lalu cari seseorang untuk saya." Ginan melirik Medhya lagi dengan singkat. "Masukkan ke penjara. Atau bunuh saja. Terserah kamu."
"Kamu mau ngapain?!" Medhya panik melihat Ginan sedang bicara dengan seseorang di telepon. Dengan segera, ia merebut ponsel tersebut, mematikan panggilan secepat mungkin. Menyembunyikannya di belakang tubuh. "Orangnya sudah di pecat sama Barra. Masalahnya juga sudah selesai." Belanya.
"Kamu pikir aku tidak bisa menemukannya?" tanya Ginan terdengar sungguh-sungguh. "Orangku ada dimana-mana, Medhya."
"Aku tahu!" Medhya berseru kesal. "Aku tahu orangmu ada dimana-mana. Aku juga tahu kamu bisa melakukan apapun. Makanya aku minta kamu jangan ikut campur." Ia menatap Ginan dengan takut. "Jangan di perpanjang."
"Apanya yang jangan di perpanjang?"
"Mas--"
"Aku saja tidak pernah membentakmu. Bagaimana bisa ada manusia brengsek di luar sana yang berani memukulmu?!" Ginan menghembuskan napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya sendiri. "Siapa yang memukulmu?" ulangnya lagi. "Kalau kamu tidak bicara, si Hadinata yang akan ku hajar."
"Maas," Medhya menggersah pelan. "Dia cuma bajingan yang hobi melecehkan perempuan, makanya aku--"
Ginan memicing. "Dia menyentuhmu?"
Medhya mengerjap, menggigit bibirnya sendiri lantas menggeleng cepat. "Nggak. Bukan aku." Sangkalnya, setengah berdusta. "Beneran bukan aku!" Imbuhnya, menegaskan. Ia menghembuskan napas lelah. "Udahlah. Masalahnya udah selesai. Kamu nggak perlu khawatir apalagi sampai ikut campur."
Ginan terdiam. Menatap Medhya cukup lama sebelum akhirnya mendesah kecewa dan berdiri.
"Mau kemana?" Medhya mengerjap, menyentuh telapak tangan Ginan, menahan lelaki itu beranjak. "Kita kan belum selesai bicara,"
"Katamu aku tidak boleh ikut campur." Ujar Ginan dengan datar. "Kamu justru sibuk membela si Hadinata itu di depanku. Buat apa aku mendengarnya?"
"Aku nggak membela dia." Medhya bangkit berdiri. Mendongak, mencoba menjelaskan. "Aku cuma nggak mau melihat keributan di depan rumahku."
"Kamu berusaha keras melindungi dia."
"Karena aku tahu apa yang akan kamu lakukan," tegasnya. "Lagipula, kenapa sih kamu marah? Yang luka aku, yang punya masalah juga aku, kenapa jadi kamu yang heboh?" tanyanya. "Aku bisa urus diriku sendiri."
"Oh ya, tentu. Kamu mengurus hidupmu dengan sangat baik," sindir Ginan tajam. "Luka-luka itu menjelaskan betapa hebatnya kamu sekarang."
Perkataan Ginan membuat Medhya tersinggung. "Jangan mengomentari cara hidupku."
KAMU SEDANG MEMBACA
STROBERI DAN KOPI
Romance[Season kedua dari : Do you remember your first cup of coffee] Bahwasanya setelah patah dan hancur lebur bersama kehilangan bertubi-tubi yang ia rasakan di masa lalu, sebuah luka amat besar masih menghuni hatinya. Medhya sadar bahwa hatinya tak siap...