17

33.9K 3.4K 200
                                    

TUJUH BELAS : DETAK MENUJU RETAK




Kunjungan tidak terduga itu membuat Ginan mengernyit curiga.

Ia tidak menyangka akan melihat Ayahnya pagi-pagi sekali, sebelum ia berangkat ke kantor. Yang lebih membuatnya heran lagi, Ayahnya duduk di sofa dengan wajah santai, sebelum akhirnya berujar tenang.

"Papa ingin bicara,"

Ginan menghela napas. Ia melirik arloji di tangan kemudian mendesah pelan. "Saya harus berangkat ke kantor sekarang juga."

"Papa juga harus segera kembali ke Jakarta secepatnya," ucapnya lagi. "Berikan waktumu sepuluh menit saja."

Dengan begitu, Ginan akhirnya memutuskan mendekat ke sofa. Duduk di hadapan sang Ayah lantas menumpukan kedua tangan di lutut. "Ada masalah apa?"

"Soal gadis itu,"

Ginan langsung memicing tak suka. "Saya sudah pernah bilang, tidak ingin membicarakan urusan pribadi saya dengan orang lain."

"Tapi kamu mengobrak-abrik informasi dari pegawai Papa."

"Ada yang harus saya selidiki."

Hanggatama menatap anaknya cukup lama. "Kamu mencoba menentang Papa?"

"Tidak." jawabnya tegas. "Saya mencoba melindungi gadis yang saya cintai."

"Kamu mencintainya?"

"Saya mencintainya."

Bibir Hanggatama Prambudi tersungging miring. "Kalau ternyata dia melukai kamu, apa kamu masih akan mencintainya?"

Ginan menatap tanpa jeda. Ada segerombol tanya yang hendak ia lontarkan. Namun, ia tahu, tak ada hal gratis yang bisa didapat dari Ayahnya. "Apa yang harus saya lakukan untuk mendapatkan semua informasi itu?" tanyanya, mencoba bernegosiasi. "Hal pertama yang ingin saya tahu adalah ... Kenapa seluruh aset milik almarhum ayahnya sekarang ada di bawah Prambudi Indonesia?"

"Kalau kamu ingin mengetahui informasi yang menyangkut hal-hal seperti itu ..." Kalimat Hanggatama terjeda sejenak. "Ambil alih Prambudi Indonesia sekarang juga. Rebutlah kursi Papa dan kamu akan bisa mengakses seluruh hal yang kamu inginkan. Tanpa perlu menggeledah privasi orang seperti maling begitu."

"Saya sudah pernah bilang, Prambudi Indonesia tidak menarik di mata saya."

"Kalau begitu, kamu tidak akan mendapatkan informasi apapun soal gadis itu." Hanggatama menyenderkan bahunya dengan senyum santai. "Saat ini, kekuasaanmu tidak lebih besar dari Papa. Jadi, mau kamu kerahkan seluruh anak buahmu untuk mengikuti Papa atau Darian sekalipun, kamu tetap tidak bisa mengalahkan Papa."

Ginan terdiam cukup lama.  Sebab ia tahu, apa yang dikatakan ayahnya memang benar adanya.

Selama ia belum lebih tinggi dari ayahnya, selama itu pula, sulit baginya melindungi apapun yang ia cintai. Tapi, mengambil Prambudi Indonesia berarti menyerah dan tunduk pada ayahnya lagi.

Itu berarti ... Seluruh kebebasan yang ia genggam beberapa tahun ini akan menghilang begitu saja.

Tidak.

Ia menggeleng pelan lantas tersenyum tipis. "Saya tidak akan membuang-buang waktu untuk Prambudi Indonesia lagi," katanya. "Saya akan melindungi dia dengan cara saya sendiri."

Itu keputusannya.


****


"Ada yang pernah bilang ..." Gerda merangkak naik ke atas tubuh lelaki yang baru bangun itu. "Aku akan kena tulah dari perkataanku sendiri."

Mata sipit lelaki itu menatapnya. Ia tersenyum tipis kala Gerda mencumbu bibirnya dengan kecupan-kecupan yang basah.

"Saat kamu menikah dengan dia nanti ..." Gerda menarik wajahnya sejenak. Meraba rahang tegas lelaki itu sembari melanjutkan. "...aku akan menyerah."

STROBERI DAN KOPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang