TIGA PULUH : MERANCANG MASA DEPAN
Medhya sudah pernah bilang belum?
Saat sedang diam dengan tampang serius begitu, Ginan jadi mirip mafia-mafia penjual narkoba yang hobi sampingannya menculik anak gadis orang, seperti film cabul yang beberapa waktu lalu ia tonton bersama Gerda dan Anya.
Oh, shit! Pikiran Medhya kotor!
Kaos tanpa lengan yang dikenakan Ginan membuat tubuh kekar lelaki itu memancarkan daya tarik luar biasa. Menyita perhatian Medhya dengan semena-mena. Otot-otot lengannya membuat fokus Medhya buyar sejenak.
Lengan itu, biasanya digunakan Ginan untuk menyangga pinggangnya saat mereka berciuman.Tunggu dulu. Tidak-tidak!
Medhya menggeleng, mencoba menyadarkan diri. Berusaha mengembalikan akal sehatnya sambil menepuk-nepuk kepalanya sendiri."Kenapa kamu berdiri disana?" Ginan mendongak, meliriknya sejenak lantas sibuk lagi memandangi laptop. Lelaki itu mengamatinya sejenak kemudian melanjutkan. "Lain kali, bawa baju ganti saat kesini. Aku nggak suka lihat kamu pakai kemejaku begitu."
"Kenapa?" Medhya melirik kemeja Ginan yang melekat di tubuhnya sejenak. Lantas mengernyit. "Aku suka pakai bajumu."
"Tapi aku jadi tidak fokus kalau lihat kamu begitu," ucapnya terdengar sungguh-sungguh. "Kemari,"
Medhya berjalan mendekat. Duduk di sebelah Ginan kemudian mengamati lelaki itu tanpa kata. Sejujurnya, memulai hubungan setelah bertahun-tahun lamanya berpisah bukanlah perkara yang mudah.
Medhya sudah tentu ketinggalan banyak hal dari Ginan, dan begitu pula sebaliknya. Pemikiran tentang 'seperti apa Ginan sekarang, apa hobi barunya, bagaimana kegiatan sehari-harinya, dan apakah lelaki ini akan mencintainya mulai sekarang', berputar-putar di kepala Medhya hingga gadis itu merasa kesal sendiri.
"Kenapa?" Sadar bahwa Medhya memasang tampang aneh, Ginan pun menoleh. Meninggalkan fokusnya pada pekerjaan sementara jari-jarinya bergerak menyentuh rambut Medhya sejenak.
Gadis itu tampak ragu sebelum angkat suara. "Aku punya banyak pertanyaan,"
Ginan mengangguk. "Katakan,"
Setelah menimbang-nimbang cukup lama, akhirnya Medhya mendesah pelan dan menggeleng. "Nggak jadi." Tapi sejemang kemudian, Medhya langsung menembak Ginan dengan tanya yang cepat. "Kamu cinta nggak sama aku?"
Ginan mengernyit. "Hal sejelas itu, kamu masih nanya?"
"Aku nggak bisa melihatnya di mata kamu,"
"Kalau begitu kamu kurang teliti. Coba lihat lagi."
Gadis itu menggersah lelah. "Kamu selalu--"
Ginan menyentuhkan tangan Medhya ke pipinya. Membuat tatapan mereka bertemu dengan lurus. "Daripada kata-kata yang tidak ada gunanya itu, aku akan memperlihatkan ke kamu ..." Ginan mengecup jari-jari Medhya dengan senyum lembut. "Betapa besar aku mencintai kamu, dengan caraku sendiri." Lanjutnya.
Medhya mengerjap pelan. "Boleh aku tanya, apa rencana mu setelah ini?"
"Mengukir nama kamu di pintu sesuai janjiku dulu,"
"Yang serius, Mas ..." Medhya merengek sebal, sedangkan Ginan tergelak.
"Minggu depan luangkan waktumu," ia menarik tubuh Medhya mendekat. Merangkul pinggang gadis itu lantas mencium pipinya. "Ikut aku ke pesta pertunangan Sangga."
"Aku nggak mau," Medhya menjawab muram. "Nanti acara pertunangan sahabatku jadi berantakan."
"Itu satu-satunya kesempatan kita untuk mengumumkan hubungan di depan seluruh keluargaku," kata Ginan dengan lembut. "Kalau bukan di acara Sangga, mustahil mengumpulkan seluruh anggota keluarga Prambudi di satu tempat bersamaan."
KAMU SEDANG MEMBACA
STROBERI DAN KOPI
Romance[Season kedua dari : Do you remember your first cup of coffee] Bahwasanya setelah patah dan hancur lebur bersama kehilangan bertubi-tubi yang ia rasakan di masa lalu, sebuah luka amat besar masih menghuni hatinya. Medhya sadar bahwa hatinya tak siap...