DUA PULUH DUA : DIBALIK RENCANA (b)
"Mbak Medhya?" Naira melambaikan kelima jarinya di depan Medhya yang masih diam sejak beberapa menit lalu. "Mbak?" Ulangnya, mulai menyentuh pundak gadis itu pelan. Karena masih tak mendapat jawaban juga, Naira pun menggoyangkan pundak sang atasan dengan segera. "Mbak Medhya?"
"Huh?" Medhya tersadar dari lamunannya. Ia mengerjap pelan kemudian membalas tatapan Naira dengan tanya. "Kenapa?"
"Mbak oke?"
"Iya. Ada apa?" Ia menggeleng sejenak kemudian tersenyum tipis. "Saya oke."
"Dari tadi bengong," kata Naira bingung. Ia ikut melirik ponsel Medhya yang di letakkan di meja. "Hapenya kenapa, Mbak? Rusak?"
"Nggak. Nggak apa-apa." Medhya menghela napas panjang sambil memandangi ponselnya lama. "Dia benar-benar nggak ngasih kabar lagi." Gumamnya kecewa.
"Siapa yang nggak ngasih kabar, Mbak?"
Medhya menatap Naira kemudian menggeleng. Ia pura-pura tersenyum. "Udah selesai?"
Naira mengangguk. Ia menyodorkan video kompilasi hasil mix and match yang baru saja ia buat pada Medhya kemudian meminta pendapat. "Ini, menurut Mbak Medhya pantas nggak kalau dibuat look pemotretan lusa?"
Medhya menonton video itu dengan teliti sambil mengomentari. "Ini dress-nya kamu pakai apa?"
"Subtle studio yang smocked linen slip dress, Mbak." Ia menggeser tab dan memperlihatkan gambar perhiasan. "Kan kita di sponsorin perhiasan all in Bulgari ya, Mbak. Vibes-nya Bulgari tuh mewah banget, jadi saya kasih monokrom gitu buat dress-nya nanti." Ia menunjukkan gaun lainnya. "Look kedua dan ketiga pakai ini, Mbak."
Medhya manggut-manggut. "Yang pertama udah bagus. Nanti kita pakai." Telunjuknya berhenti di gaun ketiga. "Kalau untuk yang ini ... Gimana kalau kamu coba revisi lagi? Look satu dan dua kan udah pakai hitam, kalau bisa look tiga jangan hitam lagi."
"Temanya masih monokrom kan, Mbak?"
"Masih." Medhya menjawab. "Monokrom nggak harus hitam putih ya, Nai. Semua warna yang netral, itu monokrom."
"Iya, Mbak." Naira mengangguk. "Nggak harus pakai gaun dari satu merk, kan, Mbak?"
"Nggak harus. Yang penting kita ada." Katanya. "Soalnya, jadwal pemotretan terlalu mepet. Jadi, kita nggak ada waktu pinjem dulu. Pakai aja seadanya."
Ponsel Medhya bergetar. Ia melirik Naira sejenak sambil meraih ponselnya. "Itu aja dulu, Nai."
"Ya udah, Mbak. Saya coba cari dress lain dulu, deh." Tahu bahwa Medhya hendak mengangkat panggilan, Naira pun pamit pergi.
Setelahnya, barulah Medhya menelepon balik orang yang menghubunginya tadi. "Halo, Ger. Kenapa?"
"Yay ..." Gerda terdengar ragu-ragu sebelum bicara. "Ada sesuatu yang mau gue bilang sama lo."
Medhya mengernyit. "Apa?"
"Janji jangan bilang-bilang Anya dulu."
Kecurigaan amat besar lantas berkumpul di kepala Medhya yang penuh spekulasi. Begitu Gerda melanjutkan perkataannya, Medhya pun terhenyak sesaat. Kehilangan kata-kata.
Satu hal yang melintas di otaknya saat itu hanyalah sebaris umpatan pelan. "Sinting kamu Ger."
****
"SINTING LO!"
Anthariksa langsung menuding Ginan begitu mereka masuk ke kamar hotel.
"Rencana apaan ini! Gue kayak orang goblok karena nggak tahu apa-apa!"
KAMU SEDANG MEMBACA
STROBERI DAN KOPI
Romance[Season kedua dari : Do you remember your first cup of coffee] Bahwasanya setelah patah dan hancur lebur bersama kehilangan bertubi-tubi yang ia rasakan di masa lalu, sebuah luka amat besar masih menghuni hatinya. Medhya sadar bahwa hatinya tak siap...