EMPAT PULUH SATU : SERBA-SERBI PERNIKAHAN
Ketika Gerda melihat Medhya memasuki gereja dengan anggun, di iringi musik dan nyanyian yang harmonis, membentuk suasana khidmat dan sakral, Gerda tak mampu membendung tangisnya.
Ia mengusap air mata di pipi dengan cepat, sembari menatap Medhya dengan haru. Gadis itu meliriknya sekilas, tersenyum dibalik tudungnya. Cantik sekali.
Ketika Medhya dan Ginan mengikrarkan janji sehidup semati didepan pendeta, lantas berciuman, Gerda lagi-lagi meneteskan air mata dengan deras. Ia terisak-isak pelan ketika Medhya melambai dengan senyum di bibir, sampai Anya berdecak mengejeknya berulangkali.
"Biasanya, yang hobi nangis itu Yaya, bukan elo."
Gerda melengos, menghadap kearah lain. Dan ketika itu, sebuah sapu tangan terulur kearahnya. Saat Gerda mendongak, Anthariksa tengah tersenyum manis sekali. Memberi isyarat padanya agar lekas menghapus airmatanya dengan sapu tangan yang ia tawarkan.
Tentu saja, Gerda tidak menolak. Ia menerima pemberian Anthariksa lantas mengusap matanya yang basah, dan membuang ingusnya. Saat ia hendak mengembalikan sapu tangan tersebut, alis Gerda menyerngit, menatap bekas ingusnya yang menempel dengan jelas, kemudian ia buru-buru menarik sapu tangan itu lagi sebelum Anthariksa menerimanya.
"Jangan,"
Antha menyerngit, "Kenapa?"
"Ada ingusnya." Bisik Gerda, disambut tawa kencang Anthariksa yang berhasil membuat mukanya merah padam, menahan malu.
Gerda melengos kembali, disambut Anya dengan heran.
"Kenapa?" Kali ini, giliran Anya yang bertanya.
"Sapu tangannya Anthariksa," gumam Gerda pelan, "Ketempelan ingus gue."
Anya berdecak. "Bisa nggak, lo jangan malu-maluin gue sehari aja?"
"Jangan mentang-mentang bekingan elo sekarang Prambudi, jadi bacot lo bisa enteng marahin gue begitu, ya!" Tekan Gerda dengan suara rendah. "Bawain sebentar," ia menyodorkan sapu tangan tersebut pada Anya yang bergidik jijik.
"Buat apa gue pegang ingus lo?!"
Gerda berancang-ancang memukul kepala Anya jika saja Anthariksa tak tiba-tiba berbisik di sampingnya. "Bawa aja dulu. Lain kali kalau udah di cuci, baru dibalikin."
Gerda langsung menoleh. "Boleh gitu?"
Antha mengangguk santai.
Mendengarnya, Gerda pun mendesah lega. Ia melipat sapu tangan tersebut kemudian memasukkannya kedalam saku gaunnya. Kembali ikut bertepuk tangan melihat Medhya tengah di gandeng Ginan untuk menuruni undakan.
Gerda kembali menatap Medhya dengan mata berkaca-kaca. Saat gadis itu tersenyum manis disebelah Ginan, wajahnya tampak bersinar terang.
Mengingatkan Gerda pada Medhya yang ia kenal beberapa tahun lalu, sebelum begitu banyak tragedi menimpa hidupnya. Sorot Medhya ketika melirik Gerda dan Anya, membuat bibir Gerda bergetar lagi, menahan tangis.
Gerda terlalu banyak menangis hari itu. Ia pikir, ia menangis karena terharu melihat kebahagiaan sahabatnya. Tapi diakhir acara, saat Medhya melempar buket bunga dan secara tidak sengaja, Gerda menangkapnya, Gerda baru sadar ... Bahwa tangisnya sepanjang acara tadi, bukan semata-mata karena bahagia.
Tapi juga iri.Gerda iri pada Medhya.
Pelan-pelan, benak Gerda membisikinya, untuk menginginkan kebahagiaan yang sama, seperti apa yang saat itu Medhya rasakan.
Kalau Medhya bisa, kenapa Gerda tidak?
Ya.
Gerda juga ingin menikah.****
KAMU SEDANG MEMBACA
STROBERI DAN KOPI
Romansa[Season kedua dari : Do you remember your first cup of coffee] Bahwasanya setelah patah dan hancur lebur bersama kehilangan bertubi-tubi yang ia rasakan di masa lalu, sebuah luka amat besar masih menghuni hatinya. Medhya sadar bahwa hatinya tak siap...