45

36.8K 3.2K 281
                                    

EMPAT PULUH LIMA : BERGEMING




"Kenapa Ibu tidak masuk?" Danang, bertanya pada eyang putri yang berdiri di depan pintu apartemen yang terbuka.
Mendengarkan keributan yang terjadi di dalam sana dengan ekspresi tenang sambil sesekali mengelus tongkatnya.

Wanita itu menghela napas ketika pertengkaran dan teriakan-teriakan tadi berganti dengan tangis wanita yang familiar di telinga.

Ia berdecak pelan. "Bantu saya," ujarnya, berpegangan pada lengan Danang sebelum berjalan masuk.

"Belum banyak yang tahu pernikahan ini. Tidak apa-apa, kalian bisa batalkan ini semua, kan? Ginan, Sayang, anak Mama ...Kamu bisa tinggalkan dia demi Mama, kan?"

Eyang menatap Isak tangis gadis muda itu dengan helaan napas panjang. Gadis itu terlihat sangat menyedihkan hingga tiba-tiba, eyang teringat dengan putrinya sendiri.

Apabila dulu ia mati di usia muda, apakah putrinya akan mengalami hal yang sama karena tak ada dirinya yang membela? Anak-anak, berapapun usianya, sejatinya akan selalu butuh sosok ibu sebagai tempat berlindung.
Bagaimana dengan gadis menyedihkan itu?

"Siapa kamu berani memutus hubungan yang sudah dipersatukan oleh Tuhan?"

Gracia menoleh, mengerjap kaget. "Ibu?"

"Kutanya, siapa kamu berani memutus hubungan yang sudah di persatukan oleh Tuhan? Lancang sekali kamu ingin menentang yang maha kuasa?"

Eyang mengulurkan tangannya, memanggil Medhya yang lantas datang dengan langkah pelan, tangis tertahan.

"Yang mereka pakai itu cincin kawinku. Kalau mereka mau melepaskannya, mereka harus melewati ijinku dulu, bukan kamu." Tutur eyang lagi dengan tegas. Ia menyentuh lengan Medhya, menatap luka memanjang dan memerah di sepanjang kulit pucatnya, lantas eyang beralih pada cucunya sendiri.

"Ngapain saja kamu Ginan?! Kamu berdiri gagah disana, kenapa bisa istrimu dicakar begini?! Kamu ini nggak becus jadi suami!" Eyang menunjukkan luka-luka di tangan Medhya dengan wajah serius. "Memalukan! Apa yangkung-mu dulu tidak pernah mengajari bagaimana caranya melindungi wanitamu sendiri?"

Ginan langsung berjalan menuju Medhya, memeriksa luka-luka di sepanjang lengannya kemudian menghembuskan napas panjang.
"Sayang, maaf ..." Ia menunduk dengan rasa bersalah.

"Dan kamu," eyang melirik Gracia dengan marah. "Siapa kamu berani menyakiti anak orang? Kalau dia ini anakmu, apa kamu rela melihatnya dipukuli wanita gila macam kamu begini?"

"Oh, aku tahu sekarang. Kenapa Ginan bisa jadi seperti ini." Gracia berujar sinis. "Jadi, Ibu yang sudah membuat anakku membangkang?" Gracia balas menatap Ibu mertuanya dengan murka. "Ibu tidak punya hak atas Ginan! Dia itu anakku!"

"Kamu juga tidak berhak atas Ginan. Dia punya hidupnya sendiri dan kamu sudah melewati batas sebagai orangtua."

"Aku tidak sudi punya menantu dia!"

"Kamu pikir aku sudi punya menantu kamu?"

Ginan memegangi kepalanya yang pening. "Sudah," lerainya. Ia memeluk Medhya dengan erat seraya melihat eyang dan mamanya saling bertukar teriakan.

"Ibu!"

"Pulang sana ke tempatmu, dasar keturunan penjajah!"

"Aku tidak akan membiarkan Ibu ikut campur dalam urusan ini!"

"Heh," eyang menyipit kesal. "Segalak-galaknya aku, tidak pernah sekalipun aku memukulmu. Sebenci-bencinya aku, tidak pernah aku melukai tubuhmu, karena aku ini punya anak perempuan. Aku ini seorang ibu juga. Aku tidak suka membayangkan anakku dipukuli oranglain. Jadi, sebenarnya siapa yang mengajarimu berlaku memalukan begini?" Tanya eyang dengan ketus. "Pantas saja kamu liar. Mungkin karena aku tidak pernah mengajarimu sopan santun."

STROBERI DAN KOPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang