51

34.1K 3.3K 287
                                    

LIMA PULUH SATU : PENOLAKAN DAN KEDATANGAN

Zoya sialan. Berani-beraninya dia menggoda suami orang. Sial. Perempuan menyebalkan!

Medhya meneguk habis segelas air dingin dengan wajah kesal. Sore tadi, ia sudah berhasil melupakan sejenak tentang insiden telepon antara dirinya dan Ginan yang melibatkan Zoya. Tapi malam harinya, Medhya kembali teringat suara Zoya dan Ginan yang terdengar sangat intim. Membuat murkanya bergejolak lagi.

"Dasar Zoya wanita gatal. Awas saja, akan kujambak dia kalau berani menyentuh suamiku. Nggak tahu diri, aku akan-- ah," Rentetan murkanya terhenti kala rasa nyeri menyerang perut bawahnya. Ia meletakkan gelasnya di meja pantry kemudian melenguh pelan. "Aduuh, magh-ku kumat."

"Kamu kenapa?"

Medhya yang tadi menunduk, kini menegakkan punggungnya lagi. Menatap ibu mertuanya dengan senyum tipis sambil menggeleng. "Nggak apa-apa, Ma." Ia meletakkan gelas di tempat cucian piring, kemudian menatap Gracia dengan lembut. "Mama mau apa? Biar Medhya ambilkan."

"Duduk disini, saya mau bicara." Wanita itu lebih dulu menarik kursi di bar station, menanti Medhya yang berjalan perlahan menghampiri. Setelah melihat perempuan muda itu duduk, ia mengeluarkan botol kecil dari dalam sakunya. "Ini untuk kamu,"

Medhya mengernyit. Menerima pemberian Gracia sambil menatap benda itu dengan heran. "Ini apa, Ma?"

"Itu pil kontrasepsi."

Medhya langsung mendongak.

"Kalian jangan punya anak."

"Ma--"

"Kamu tahu saya tidak suka denganmu, kan?" Gracia menatap Medhya dengan serius. "Kalau kamu punya anak, saya juga akan memperlakukannya sama seperti saya memperlakukan kamu. Karena itu, jangan sampai kamu hamil."

Medhya membuang napasnya perlahan.
Memang benar ia tak ingin buru-buru punya anak. Tapi, bukankah perkataan Gracia barusan sangat keterlaluan?

"Mama bahkan membenci sesuatu yang tidak ada," gumamnya. "Kalau begitu, Mama tidak mau punya cucu?"

"Tentu saya mau. Tapi, bukan dari kamu."

Medhya tertawa kecut. "Lalu dari siapa? Dari Zoya?" tanyanya, meremas botol kecil itu dengan sebal. "Di kepercayaan yang saya anut, Ma, laki-laki cuma boleh beristri satu. Jadi, bagaimana Mama bisa dapat cucu dari Zoya, padahal Mas Ginan sudah menikah dengan saya?"

"Sekarang, kamu memang istrinya. Tapi tidak ada yang tahu, akan seperti apa masa depan berjalan,"

"Mama berharap hal buruk menimpa anak Mama sendiri?"

"Berpisah denganmu bukan hal buruk buat Ginan, justru sebaliknya."

Medhya menarik napas dengan sabar. "Begini, Ma ..." Medhya menjeda kalimatnya cukup lama. "Berhubung Mama tidak pernah berniat menutupi rasa benci Mama ke saya, maka saya pun akan blak-blakan sekarang."
Ia memutar-mutar botol di tangannya perlahan kemudian melanjutkan. "Saya tahu apa tujuan Mama kesini. Saya juga tahu, rencana Mama sekarang adalah membuat saya marah sehingga hubungan saya dengan Mas Ginan jadi memburuk. Saya bukannya tidak tahu, Mama juga pasti sedang berharap, disana, Mas Ginan akan tergoda dengan Zoya."

Gracia menatap sang menantu dengan mimik terkejut. Ia menyipit sejenak. Jika dia sudah tahu semua, kenapa anak ini masih diam saja dan mengikutinya kemana-mana?"

"Mama ingin tahu kenapa saya mengikuti semua sesuai dengan rencana Mama?" tanya Medhya, menebak dengan jitu. Ia tersenyum tipis kemudian menjawab tanyanya sendiri.
"Karena saya tidak mengijinkan suami saya kebingungan. Saya tidak mau suami saya berdiri ditengah-tengah antara istri dan ibunya. Saya tidak akan pernah rela, melihat dia memikirkan hal seremeh itu ketika di kantor, dia sudah punya banyak sekali masalah. Saya tidak akan membiarkan suami saya kesulitan."

STROBERI DAN KOPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang