SATU : BERTEMU MASA LALU
Pada dasarnya, Medhya adalah seorang pemalas.
Jadi, sebagaimana seorang pemalas pada umumnya, tidak ada hal yang lebih menyebalkan baginya, dibanding harus bekerja di hari libur yang indah.
Harusnya, ia masih ada di rumah. Bercengkrama dengan kasur, selimut, bantal dan guling kesayangan dengan khusyuk. Harusnya ia masih malas-malasan di kamar, seandainya Karenina Hadinata tak merecokinya dengan meeting yang nyaris Medhya lupakan.
Matanya masih lengket dengan kantuk ketika tadi, Karenina mendatangi rumahnya dan sibuk berceloteh tentang klien penting hari ini. Juga tentang Medhya yang bisa-bisanya masih tidur ketika kemarin, Karen sudah mewanti-wantinya untuk stand by kapanpun dibutuhkan.
"Halah," cibir Medhya, saat Karen lagi-lagi berpidato panjang lebar, mengingatkan tentang pentingnya bangun pagi bagi perawan. Mata gadis itu memutar, menjawab sekenanya. "Kata siapa aku masih perawan?"
Karen menggeplak bahunya dengan kejam, sukses membuatnya beraduh-aduh. Keduanya ribut sebentar sampai dengan rombongan klien yang mereka nanti-nanti sepuluh menit lamanya itu muncul di bilik restoran tempat mereka berdebat.
"Sakit!" rengeknya sebal, menggerutu panjang lebar.
"Awas ya, jangan bikin gaduh lagi. Diem! Klien kali ini maha penting, tahu!"
Sementara Mbak Karen mendelik, Medhya hanya bisa cemberut sambil mengelus-elus bahunya. Sekalipun masih kesal, ia terpaksa ikut bangun dari duduknya saat Karen menyuruhnya demikian. Sekilas ia lihat seorang lelaki berkemeja biru tua telah berdiri di hadapannya.
"Selamat siang, Pak Ginan Satyatama Prambudi."
Medhya ikut menundukkan kepalanya. Tersenyum manis pada-- huh?!
Tunggu dulu.
Siapa tadi kata Mbak Karen?
"Halo, selamat siang."
Suara berat itu lantas membuat Medhya mendongak. Detik itu juga, tatapannya bertemu dengan mata kebiruan yang sudah absen dalam hidupnya empat tahun belakangan. Ia pun tersentak.
Senyum lelaki itu mengembang, dan Medhya tahu bahwa dunianya seolah-olah berhenti berputar selama beberapa detik ke depan, sampai Karen berdekhem pelan, menyenggolnya.
"Pak Ginan, ini dia fashion stylist andalan By.Us, Medhya Zalina Mukhtar. Dia yang nanti akan menangani busana di konten-konten fashion Gatama Media kreatif selama tiga bulan ke depan." Karenina berujar dengan ramah. "Medhya ini serbaguna, lho. Selain mix and match pakaian, dia juga terbiasa menulis artikel fashion di majalah kami. Jadi, nanti Bapak mungkin bisa mengandalkan dia untuk hal-hal lain juga,"
Medhya masih mematung ketika Karen tertawa sungkan sambil mencubit lengannya.
"Yaya," panggil Karen, pelan. "Medhya!" sentaknya, menyadarkan ia dari lamunan panjang yang serta merta menarik habis kesadarannya.
"Huh? Oh, a-apa?" Medhya gelagapan. Matanya mengerjap, kedua kakinya mundur hingga tubuhnya nyaris tersungkur kala tangan lelaki itu terulur padanya.
"Halo, senang bertemu dengan kamu, Medhya Zalina Mukhtar."
Medhya menelan ludahnya dengan kasar. Alih-alih membalas sapaan lelaki tersebut, ia justru beralih pada Karenina dengan wajah pias lantas menggenggam tangannya kuat-kuat. "Mbak Karen," bisiknya tertekan. "Aku mau resign aja."
Detik itu, Medhya bisa melihat mata Karenina memancarkan laser yang seolah-olah, bisa mencacah tubuhnya jadi potongan seratus bagian.
Ini kutukan!
KAMU SEDANG MEMBACA
STROBERI DAN KOPI
Lãng mạn[Season kedua dari : Do you remember your first cup of coffee] Bahwasanya setelah patah dan hancur lebur bersama kehilangan bertubi-tubi yang ia rasakan di masa lalu, sebuah luka amat besar masih menghuni hatinya. Medhya sadar bahwa hatinya tak siap...