SEMBILAN BELAS : DIBALIK SEBUAH KISAH
"Aku cuma mau dia nggak ganggu anak fashion lagi. Kamu nggak perlu pecat dia karena aku juga tahu, dia itu salah satu orang yang paling kamu percayai selama ini," Medhya menghela napas pendek seraya melirik Barra yang duduk di kursi depan teras rumahnya. "Bar, its fine. Kamu lihat, ini cuma luka kecil. Kamu nggak perlu menyalahkan diri seperti ini. Lagian, aku memang sengaja supaya dia mukul aku. Dengan begitu, dia nggak akan bisa mengelak lagi dari kesalahan." Ia menerangkan. "Kalau aku cuma ngadu soal tindakan yang dia lakukan ke Naira, kalian juga nggak akan langsung percaya karena memang nggak ada buktinya. Dia tahu semua titik-titik buta di kantor, dan dia selalu ngelakuin hal bejat itu di tempat yang memang nggak ada cctv, jadi ..."
"Semakin kamu menjelaskan, Medhya ..." Akbarra menundukkan kepala, "..semakin aku merasa tidak berguna."
"No no no, jangan mikir begitu. Kan aku udah bilang, Bar, ini bukan salah kamu. Aku sendiri yang memang mengumpankan diriku,"
"Itu dia," kata Barra lagi. "Kamu sampai harus mengumpankan diri dan terluka. Ini terjadi karena aku selalu mengabaikan laporan kamu tentang kelakuannya selama ini. Aku cuma nggak habis pikir ... Orang yang ku sangka baik dan aku percaya selama ini bisa melakukan hal begitu. Demi Tuhan, kami kenal sangat lama. Aku tidak berpikir dia bisa melakukan ini ke kamu."
Ada setitik rasa bersalah di dada Medhya mendengar Barra bicara demikian. Ini juga lah yang selama ini membuatnya selalu menahan diri dari kelakuan minus Mirza. Sebab ia tahu, sebesar itu kepercayaan Barra pada lelaki brengsek tersebut. Medhya tahu bahwa membongkar kelakuan Mirza, sama dengan membuat Barra kehilangan salah satu teman terpercayanya. "Maafin aku. Harusnya aku nggak ngelakuin ini." Medhya menunduk sejenak. "Aku cuma mau dia berhenti melakukan itu ke perempuan di kantor."
"Aku akan pecat dia."
"Bar," Medhya buru-buru mendongak. Menatap Barra yang berdiri dari kursi. Ia ikut bangkit, menahan lengan Barra. "Nggak. Jangan begitu. Aku cuma mau dia nggak ganggu anak fashion lagi kedepannya. Kamu nggak perlu sampai--"
"Apa aku harus lihat kamu tersiksa lebih lama lagi karena Mirza?" Tangan Barra terulur menyentuh sudut bibir Medhya yang terluka. Wajahnya terlihat sangat kecewa dan marah. Namun, ada pengendalian diri yang kuat dari diri Barra hingga ia pun menghela napas panjang.
"Di tempatku, aku ingin kamu aman. Setidaknya selama ada aku .., Aku tahu ini terlambat. Tapi, tidak mau mengambil resiko kamu akan terluka lagi.""Aku bisa jaga diriku dengan baik. Kamu tahu kan kalau aku--" Perkataan Medhya terhenti sebab sebuah mobil masuk ke halaman rumah. Setelah menyipit untuk memastikan, Medhya langsung panik begitu sadar siapa pemilik mobil tersebut.
"Bar," Ia bergegas mendorong Barra dengan tidak sabaran. "Aku rasa ... Kamu harus pergi sekarang juga." tatapan Medhya terpaku pada sosok yang keluar dari mobil.
Medhya mengamati ekspresi tidak bersahabat dari lelaki yang sedang berjalan kearahnya tersebut. la makin getol menyuruh Akbarra hengkang dari sana saat itu juga. Bukan apa-apa. Hanya saja ... Tatapan Ginan saat ini ...
Medhya meneguk ludahnya sendiri dengan kepayahan. Ia tahu jenis tatapan itu. Kalau tetap disini, Barra bisa di hajar Ginan sampai mati. "Pulang, Bar. Cepetan!"Barra juga tahu kedatangan lelaki itu yang membuat Medhya jadi panik begini. Ia balik menatap Ginan hingga lelaki tersebut sampai di hadapannya.
Keduanya menjulang sama tingginya. Membuat Medhya menciut di tempat, di rayapi rasa khawatir yang bukan main besarnya.
"Aku tidak akan meninggalkan kamu," kata Barra, dengan mata yang tertuju langsung pada Ginan.
Medhya sigap menengahi. Ia berlari ke depan Ginan dan menyentuh kedua lengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
STROBERI DAN KOPI
Romance[Season kedua dari : Do you remember your first cup of coffee] Bahwasanya setelah patah dan hancur lebur bersama kehilangan bertubi-tubi yang ia rasakan di masa lalu, sebuah luka amat besar masih menghuni hatinya. Medhya sadar bahwa hatinya tak siap...