TIGA PULUH DELAPAN : MENUTUP KISAH SEBELUM MELANGKAH
"Mbak Yaya mau kemana sih, ambil cuti lama banget?"
"Rahasia." Medhya terkekeh geli melihat Naira yang mengekor di belakangnya. Wajahnya kelihatan sangat tertekan begitu mendengar kabar ia akan cuti selama beberapa hari. Anak itu sampai menunggui Medhya yang sedang mengaduk susu di pantry. "Jangan khawatir, nanti saya minta tolong Dara sama Dilla buat bantuin kamu, kok." Ia duduk di kursi, Naira mengikuti di depannya. "Nih, minum dulu." Di sodorkannya kopi di meja pantry pada Naira. Sementara dirinya sendiri, setia dengan cangkir susu hangatnya.
"Nanti selama saya cuti, ada satu pemotretan buat event menuju ramadhan, dan dua kali syuting di GMK. Saya udah siapkan beberapa hal yang belum sempat saya ajarin ke kamu. Sisanya, saya yakin kamu bisa urus sendiri."Naira meraih cangkir kopi kemudian meniupinya. "Kalau saya salah gimana, Mbak?"
"Ya jangan salah, lah. Malu-maluin saya aja kamu." Kekeh Medhya lagi. "Kalau ada yang kamu bingung atau kurang yakin, tanya sama Dara Dilla. Mereka pasti bantuin."
"Mbak Yaya tuh mau kemana, sih?"
"Kawin." Jawab Medhya terdengar bercanda. Sambil meminum susu di cangkir, ia tersenyum puas melihat Naira mengerang pelan.
"Jangan bercanda dong, Mbak."
"Ya udah. Dibilangin nggak percaya." Ia mengendik santai. Ponselnya berdering di saku. Medhya merogohnya kemudian mengangkat panggilan tersebut segera. "Iya, Ger."
"Lo jadi kawin?!"
Medhya berdiri dari kursinya. Lantas memberi isyarat pada Naira untuk pamit mengangkat panggilan. Setelah Naira mengangguk, Medhya berjalan santai dengan ponsel di telinga. "Jadi, dong. Gaun sama cincin udah siap. Gereja juga ready. Cuti udah di tangan. Masak masih ditanya jadi apa enggak, sih."
"Ya udah. Kalau gitu gue on the way Jogja."
"Sama Anya?"
"Jangan ngeledek! Kami lagi nggak akur, ya!"
Medhya ketawa pelan. "Sensitif banget. Orang cuma nanya," ujarnya. Ia mengangguk pelan pada gerombolan anak magang yang menyapa di depan ruangan. "Iya, mari." Kemudian Medhya bicara lagi. "Makanya, Ger. Jangan suka main api kalau nggak mau terbakar." Mendorong pintu ruangan, Medhya masuk dan berjalan menuju kubikelnya. Ia duduk dengan santai begitu memastikan tak ada orang lain disana.
Hari ini Dara dan Dilla mengikuti Karen meeting di luar.
"Siapa aja yang nanti di undang?"
Medhya memindahkan ponselnya ke kiri. "Kamu. Anya. Mas Sangga. Mas Antha. Adiknya Mas Sangga. Hmm ... Beberapa orang temannya Ginan. Dan orang-orang di gereja."
"Bercanda lo ya!" Gerda berteriak histeris. "Acara ulang tahun anak-anak di mekdi aja lebih banyak tamunya di banding itu!"
"Aku mau ngundang siapa lagi?" Tanyanya santai. "Itu aja udah rame banget."
"Lo kawin sama seorang Prambudi, Yay!" teriak Gerda lagi. "Masak cuma segitu doang, sih yang datang!?"
"Yang penting kawin lah." Ia meletakkan tangannya diatas mouse, menggeser benda itu perlahan sebelum melanjutkan. "Mau acara sederhana ataupun besar-besaran, esensinya kan sama aja."
"Gue capek sih ngomong sama lo." Gerda berdecak. "Ya udah. Ini gue mau ke bandara."
"Ger," panggil Medhya lagi. "Aku kan masih kerja, nih. Jadi, nanti kalau udah sampai, kamu bisa ambil kunci rumah di bawah pot kayak biasanya aja. Oh iya, di dapur, ada cumi goreng tepung sama tumis brokoli kesukaan kamu. Mmmh, ada cheese cake juga di kulkas. Boleh di makan, tapi nanti sisain sedikit buat Anya. Jangan di habisin."
KAMU SEDANG MEMBACA
STROBERI DAN KOPI
Romance[Season kedua dari : Do you remember your first cup of coffee] Bahwasanya setelah patah dan hancur lebur bersama kehilangan bertubi-tubi yang ia rasakan di masa lalu, sebuah luka amat besar masih menghuni hatinya. Medhya sadar bahwa hatinya tak siap...