LIMA PULUH EMPAT : DUKA DAN KEINGINAN
"Laki lo psikopat ya, Yay?"
Medhya melirik Anya dengan dongkol. Kesal bukan main mendengar suaminya di bilang macam-macam.
"Eyangnya meninggal masih bisa santuy begitu. Tampangnya dari kemarin lurus banget kayak tongkat mayoret. Nggak ada gelombang-gelombang ekspresi sedikitpun, anjir! Seenggaknya nangis, kek!"
Medhya mencebik pelan sambil mengaduk teh. Orang-orang suka sekali berspekulasi seenaknya.
Semuanya, selalu saja melihat segala sesuatu hanya dari satu sudut pandang tanpa paham ada sesuatu dibaliknya. Mereka bilang Ginan santai? Hah. Tidak tahu saja mereka, kalau semalaman tadi Ginan menangis tersedu-sedu sambil memeluk perut Medhya. Suaminya datang ke kamar dalam keadaan setengah mabuk lalu menjatuhkan kepala di perutnya. Sambil menangis sesenggukan, Ginan berulang kali menggumamkan kalimat yang sama,
"Bayi kopi, Papa sudah nggak punya eyang lagi."
Gituuuuu terus sampai Medhya pusing sendiri mendengarnya. Ia jadi nggak bisa tidur gara-gara suaminya berduka habis-habisan.Ginan tidak sedih? Omong kosong. Suaminya juga berduka sama seperti Sangga, Devintari dan Anthariksa. Hanya saja, Ginan memang kurang bagus dalam mengekspresikan perasaan. Lelaki itu gengsian. Tidak mungkin menangis sembarangan. Ginan juga seorang cucu yang baru saja kehilangan eyangnya tersayang. Hanya saja, tak semua orang paham betapa besar kehilangan yang Ginan rasakan.
Karena itu Ginan butuh Medhya. Jika tak ada Medhya, kepada siapa Ginan akan menangis seperti semalam? Lelaki itu menyedihkan. Dibalik banyak omongannya yang ketus dan tajam macam kapak Wiro sableng, hatinya juga sama seperti manusia pada umumnya.
"Nangis kan nggak harus laporan dulu." Sahut Medhya dengan kesal.
"Jangan ngamuk, dong, Nyah. Kan cuma ngobrol." Anya menimpali dengan bibir mengerucut. "Lo mau nasi goreng, nggak? Ini, masih panas. Baru di gojekin sama bibi yang kerja disini."
Medhya langsung mengernyit, lantas menjauh beberapa langkah dari Anya ketika bau bumbu yang lekat menyengat masuk ke penciumannya.
Oh ya ampun. Mabuk paginya bahkan tak berhenti di saat-saat penting begini.
Medhya menutup mulutnya sendiri dengan telapak tangan. Ia balik badan meninggalkan pantry, kabur ke kamar karena mualnya kumat lagi.Ginan yang melihat istrinya lari ke kamar sambil menutup mulut, lantas ikut bangkit, mengikuti di belakang.
Sedangkan Anya menatap dengan kebingungan. "Lah, dikasih makanan malah gumoh." Gumamnya.
Di sisi lain, ada sepasang mata yang menatap kejadian tersebut dengan curiga.
Sepertinya ia tahu sesuatu ...****
Anak, cucu, menantu, bahkan Anya yang belum resmi jadi anggota keluarga, sore itu berkumpul bersama. Duduk melingkar di sofa panjang, dengan Gabriel Simatupang, notaris sekaligus salah satu dari beberapa orang kepercayaan eyang putri, sedang membacakan surat wasiat.
"Surat ini, dibuat dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan dari pihak manapun."
Adalah kalimat awal yang masih Medhya tangkap. Selanjutnya, jangan tanya.
Medhya sama sekali tidak peduli. Kepalanya sibuk berputar-putar, memikirkan perut yang lapar. Setelah muntah-muntah, perutnya terasa kosong dan keroncongan. Sementara Pak Gabriel masih sibuk membaca, Medhya mendekati Ginan, lantas berbisik."Mas, aku lapar."
Ginan menoleh. "Mau makan apa?"
Medhya tampak berpikir sejenak. Lantas sebuah ide terlintas di kepalanya. "Spaghetti,"
KAMU SEDANG MEMBACA
STROBERI DAN KOPI
Romance[Season kedua dari : Do you remember your first cup of coffee] Bahwasanya setelah patah dan hancur lebur bersama kehilangan bertubi-tubi yang ia rasakan di masa lalu, sebuah luka amat besar masih menghuni hatinya. Medhya sadar bahwa hatinya tak siap...