54

37.1K 3.4K 256
                                    

LIMA PULUH EMPAT : MENYAMBUT DAN MELEPASKAN




"Mas Ginan jangan gerak!"

Sembari menghela napas panjang, Ginan menatap sang istri dengan frustasi. "Ini aku harus berapa lama lagi sih kayak begini?"

"Tungguin, belum selesai." Medhya masih menunduk, sibuk mengoleskan kutek warna-warni di kuku-kuku jari sang suami. Tak berapa lama, perempuan itu berseru gembira. "Nah! Udah. Sambil di tiup-tiupin, Mas. Fuuhhhh-fuuuhhh gitu."

Sementara Medhya memasukkan kutek kuteknya kedalam kotak, Ginan hanya mampu melirik kesepuluh kuku tangannya yang sudah dilapisi dengan berbagai warna dengan nelangsa. "Nggak ada wibawanya aku kalau begini."

"Jangan dihapus ya?" Perintah Medhya dengan lembut. "Aku kepengen besok kamu berangkat kerja dengan kuku yang cantik begini."

"Kamu kalau ada dendam pribadi sama aku lebih baik jujur aja deh, Sayang, daripada aneh-aneh begini."

"Kok dendam, sih? Orang aku ngidam."

Ginan merapatkan bibir, ingin menjawab namun tidak jadi. Ia berakhir bungkam seribu bahasa.

Medhya bergerak merangkak melewati tubuh Ginan karena mendengar ponselnya berdering. Perempuan itu mengangkat panggilan dengan ceria. "Halo, papa?"

Ginan menyerngit. Dipikir-pikir, Papanya sering sekali menelepon istrinya. Ginan saja tak pernah di telepon kalau bukan urusan pekerjaan.

"Iya, Pa. Satu jam yang lalu Mama pulang."

Selama sang istri ngobrol di telepon dengan ayahnya, Ginan sibuk mengamati kuku-kukunya sendiri sambil bergumam dalam hati. Bisa hancur imagenya kalau sampai Anthariksa dan lain-lain melihat kukunya warna-warni begini. Tapi, jika ia berani menghapus lapisan kuku ini, Medhya pasti akan menangis lagi.

Perempuan itu cengengnya bukan main. Melihat kucing di jalanan nangis, melihat orang tua menyebrang nangis lagi, bajunya nyangkut di hanger juga nangis.
Medhya menanggapi semua hal dengan tangisan. Ginan sudah tidak bisa menghitung berapa banyak Medhya menangis seharian ini.

"Iya, kalau begitu papa jaga kesehatan, kapan-kapan Medhya sama Mas Ginan kesana."

Begitu telepon berakhir, Ginan langsung memicing.."Kata siapa aku mau ketemu Papa?"

Medhya berkedip pelan. "Kataku barusan." Ujarnya enteng sekali. "Nggak boleh marah-marah terus sama orangtua sendiri. Kualat." Ia meletakkan ponselnya di samping ranjang lagi. "Mas,"

"Hm,"

"Maas,"

"Apa Sayang?"

"Aku mau makan cheese cake."

Ginan menyerngit. "Tiba-tiba?"

Medhya mengangguk. "Yuk?"

Dengan napas terhela panjang, Ginan bangun dari kasur dan mengulurkan tangan. "Ya sudah ayo. Ambil jaketnya dulu."

"Ambilin."

"Harus aku juga yang ngambilin?"

"Kenapa? Kamu nggak mau?"

Sembari menatap mata Medhya yang berkaca-kaca, Ginan menghembuskan napas panjang lagi, kemudian berjalan ke lemari. "Yang mana?"

"Yang bagus."

"Yang bagus itu yang mana?" Ginan menoleh dengan sabar. "Nanti kalau aku salah ambil, kamu nangis lagi?"

"Enggak, aku nggak nangis,"

Giliran Ginan mengambil sekenanya, Medhya menatap jaket warna hijau pemberian sang suami dengan wajah muram. "Kok yang ini sih, aku kayak kodok nantiii,"

STROBERI DAN KOPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang