6

38.6K 3.3K 87
                                    

ENAM : TIKET NIKAH KELUARGA PRAMBUDI









Absennya Devintari dari acara pertunangannya sendiri sudah tentu mengundang banyak tanya dan kritikan. Beberapa dari keluarga terpandang yang di undang di acara tersebut pulang membawa gosip bombastis yang menyatakan bahwa tuan putri dari keluarga konglomerat nomer satu di Indonesia itu telah mencoreng muka orangtuanya sendiri. Kabar bahwa Devintari kabur dan berselisih dengan calon tunangannya langsung menyebar dan membuat tensi darah Eyang putri melonjak naik.

Dari subuh tadi, ponsel Ginan tak berhenti berdering, membuatnya pusing. Ia memungut benda itu dari meja kerja setelah sekian lama terabaikan, melirik nama pemanggil sebentar kemudian menarik napas panjang sebelum menjawab. "Yes, Ma."

"Du weißt, wo Devintari ist?"

"Bei mir zu Hause. Ich habe Sangga gesagt, dass er nicht nach Hause kommen will." (Di rumahku. Aku sudah bilang ke Sangga kalau dia tidak mau pulang) balas Ginan lagi, sembari mengancingkan kemejanya.
"Geht es Papa gut?" (Apa Papa baik-baik saja?)

"Dia sedang menenangkan Pamanmu. Alles ist wirklich durcheinander (semuanya benar-benar kacau)." Gracia berdecak di seberang sana. "Kalau begitu Mama akan menyusul ke Jogja,"

"Jetzt?" tanya Ginan, kaget. "Buat apa? Mama juga tidak akan bisa membujuk dia. Kalaupun bisa, aku tetap tidak setuju Devin melanjutkan pertunangan dengan si Chou bajingan itu,"

"Misch dich diesmal nicht ein," (jangan ikut campur kali ini) Gracia berujar sungguh-sungguh. "Kamu mau bertanggung jawab kalau keluarga Sutedja berhenti menyuplai kebutuhan Pramedical center? Atau seandainya keluarga Chou menuntut keluarga kita?"

"Warum sollte ich verantwortlich sein?" (Kenapa harus aku yang tanggung jawab?) tanya Ginan balik, "Ini kan rencana Paman. Harus Paman lah yang menanggung konsekuensinya," lanjutnya dengan santai.

Ia beralih ke meja aksesori, memilih jam tangan yang akan di kenakan hari ini. Pilihannya jatuh pada Cosmograph Daytona 116515 choco yang sudah lama tak ia sentuh. Sembari mengenakan jam tersebut, ia bicara lagi. "Mama boleh kesini, asal jangan bawa-bawa perempuan lagi. Please, aku serius kali ini."

Kalau ibunya masih membawa perempuan untuk di sodorkan pada Ginan seperti sebelumnya, lantas Medhya melihatnya bersama perempuan itu, keberlangsungan kisah asmara mereka bisa dalam bahaya.

Bisa gagal rencananya untuk mendapatkan Medhya lagi. Tidak ada perempuan lain saja Ginan sudah sebegini jungkir baliknya.

"Tiket nikah ada di kamu sekarang, Ginan!"

Ginan ketawa pelan. "Ich weiß, Ma." jawabnya. "Makanya aku sedang berusaha keras. Sudah dulu, aku harus ke kantor sekarang juga. Bye, love you."

Ia selesai dengan percakapan paginya dengan sang Ibu. Sambil bersenandung kecil, Ginan keluar kamar. Ia menjalankan rutinitas pagi harinya sebelum beranjak keluar rumah.

Ya, betul. Menelepon Medhya.

"Selamat pagi, Sayang. Wow, suara bangun tidurmu seksi sekali." Ia terkekeh pelan ketika mendengar Medhya mengumpat. "Aku sudah bilang belum? Setiap kali kamu judes begini, keinginanku untuk menculikmu jadi semakin besar."

Medhya menjawab perkataan Ginan dengan kata-kata sependek, "Tutup mulutmu." Sebelum memutuskan panggilan.

Ginan mengulum senyum. Menatap layar ponsel yang menampakkan wajah Medhya bertahun-tahun silam kemudian berdecak pelan. "Dia selalu menutup telepon tanpa menjawab sapaan selamat pagi,"
Sekalipun bibirnya menggumamkan protes, tetap saja ia tersenyum. "Ya sudahlah. Setidaknya aku bisa dengar suaranya." Ia mengendik. Menyapa Bi Nani sejenak kemudian melanjutkan berjalan keluar rumah. Melewatkan sarapan paginya seperti biasa.

STROBERI DAN KOPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang