TIGA PULUH SEMBILAN : BUNGA YANG DIRANGKAI PADA TAHTA
Ginan dan Anthariksa tengah berbincang ketika Sangga datang. Lelaki itu tampak berantakan. Kemejanya tidak rapi, dan wajahnya mengantuk.
Ia menyapa santai kemudian menjatuhkan diri di sofa ruang tengah rumah Ginan. Menyelonjorkan kaki di sofa panjang itu, menguasainya sendirian.Sementara Sangga memejamkan mata, Ginan dan Anthariksa berpandangan.
"Ngapain lo disini? Katanya besok baru bisa datang?" Ginan bertanya heran. "Lo nggak salah lihat tanggal, kan? Gue kawinnya lusa."
"Gue juga tahu," gumam Sangga seperti orang mengigau. "Tapi, Eyang ngajakin sekarang. Jadi gue harus ikut mau nggak mau."
"Eyang?" Tanya Ginan. "Mana?"
"Di rumah Medhya. Nganterin barang-barang."
"Barang-barang apa?" Antha ikut penasaran.
"Barang-barang orang kawin, barangkali. Mana gue tahu. Gue juga belum pernah kawin." Balas Sangga lagi dengan lelah.
Ginan mengangguk pelan. Ia memanggil bi Nani kemudian. "Biiii,"
Wanita itu, yang sejatinya sedang sibuk membuka hadiah di dapur, langsung datang. "Kenapa, Mas?"
"Ada Sangga." Ginan mengendik. "Minta tolong kasih minum atau apa gitu. Kasihan, kayaknya mau mati dia."
Sangga mendengus kencang. Ia menggersah pelan ketika mencoba bangun. Sendi-sendi tulangnya seperti di lolosi karena lelah. Namun, ia masih menyempatkan diri tersenyum pada Bi Nani. "Saya boleh minta minum, Bi?"
"Boleh dong, Mas. Sebentar, kayaknya Mas Sangga ini lagi nggak enak badan, ya toh? Gimana kalau saya buatkan wedang jahe spesial?"
"Boleh, Bi."
"Nanti saya rebus jahenya di panci saya yang baru, saya tambahkan madu, saya aduk pakai kayu manis, terus --"
"Nggak perlu dijelaskan Bi." Ginan tersenyum geli. "Dia keburu dehidrasi."
"Sek ya, Mas. Tunggu dulu." Lalu wanita itu balik ke dapur dengan senyum mengembang.
"Si Bibi cerah banget kayak baru menang lotre satu triliun." Antha menatap heran.
"Paketan alat-alat dapurnya baru datang." Ujar Ginan dengan geli. "Kemarin minta beli seperangkat alat masak sama apa tuh namanya gue lupa. Yang buat kukus-kukus kalkun itu."
"Lo yang beliin?" Tanya Sangga tak percaya.
"Ya Medhya, lah. Gila kali. Gue mana paham begituan." Jawabnya santai. "Tuh, si Bibi. Sekarang sudah jadi prajurit tetapnya Medhya, gue cuma kebagian bayar gajinya aja."
Sangga dan Anthariksa tertawa pelan.
"Ngomong-ngomong, lo nggak lupa bawa barang pesanan gue kemarin, kan?" Ginan bertanya lagi.
Sangga mengangguk. "Ada di koper. Tapi, kayaknya nggak akan terpakai."
"Kenapa?" Ginan bingung.
"Eyang tadi bawa beberapa kotak perhiasan juga. Pas gue tanya, katanya buat Medhya. Nggak tahu, itu barang di timbun dari jaman apa, pas keluar bisa sebanyak itu." Sangga memijit tengkuknya sendiri.
"Jangan-jangan habis ini Medhya buka toko perhiasan," Antha ngakak sembari menatap Ginan dan Sangga bergantian. "Gue jadi ingat waktu dulu, Mbak Brie dikasih sekotak berlian sama Eyang, terus besoknya Mbak Brie nggak bisa tidur gara-gara takut kontrakannya kemalingan."
Sangga tersenyum tipis. "Lucunya, belum ada satu perhiasan pun yang sempat dia pakai sampai dia pergi."
Anthariksa langsung terdiam. Menyesal telah menyinggung soal Brisia.
KAMU SEDANG MEMBACA
STROBERI DAN KOPI
Romance[Season kedua dari : Do you remember your first cup of coffee] Bahwasanya setelah patah dan hancur lebur bersama kehilangan bertubi-tubi yang ia rasakan di masa lalu, sebuah luka amat besar masih menghuni hatinya. Medhya sadar bahwa hatinya tak siap...