40

38.9K 3.4K 100
                                    

EMPAT PULUH : SATU JANJI UNTUK SELAMANYA







Sejak tadi, Gerda mondar-mandir di hadapan Medhya dan Anya. Bolak-balik mengintip situasi di luar, kemudian melirik Medhya lagi dengan mata mengerjap cemas.

"Lo bisa diem nggak?!" Anya menyentak tangan Gerda. Menariknya agar duduk dengan tenang di sisi, sementara Medhya masih di rias dengan anteng di depan cermin.

"Nggak bisa, gue gugup!" Gerda menggigiti kuku jarinya dengan khawatir.

"Yang kawin Yaya, kenapa jadi elo yang gugup?!"

"Ibunya Mas Ginan, si nenek lampir cabang Jerman itu," gumam Gerda tampak serius. "Gimana kalau dia datang dan merecoki acara pernikahan ini? Gue takut."

"Dia nggak akan datang, Ger. Tenang aja." Medhya membalas dengan santai.
Dibalik matanya yang terpejam, ia melanjutkan.  "Dia bahkan nggak tahu kalau hari ini kami menikah."

"Gimana kalau berita ini bocor dan sampai ke telinga ibu mertua lo itu?"

Anya menimpali. "Tante Gracia lagi di Paris."

"Ngapain?" Gerda menoleh pada Anya, bertanya penasaran.

"Ya mana gue tahu. Suka-suka dia lah, duitnya banyak. Terserah dia mau melancong kemana juga." Anya menjawab sekenanya. "Lagian, dengan nggak adanya dia disini justru kita bisa melaksanakan acara dengan tenang tanpa takut ada gangguan, kan?"

"Udah cyiiin," penata rias Medhya telah menyelesaikan pekerjaannya. Lelaki kemayu itu berdecak kagum ketika melihat hasil kerja kerasnya sendiri. "Cantiknyaaa,"

"Ben, jangan berani-berani lo ambil fotonya, ya!" Gerda langsung menyalak begitu melihat Benno hendak merogoh ponsel di saku celana. "Ini pengantin bukan sembarang pengantin. Lakinya powerfull. Kalau lo macam-macam, usus dua belas jari lo beserta organ-organ penting di dalam tubuh lo bisa di lelang di pasar gelap sama tuh orang!"

"Iih!" Benno mengerucutkan bibirnya mendengar gertakan Gerda. "Padahal Medhya ini pengantin paling cantik yang pernah gue tangani!"

"Nanti lo boleh mempublikasikan gue saat gue kawin," Gerda berucap sembarangan. "Gue pasti nggak kalah cantik."

Sementara Anya menimpali perkataan Gerda lagi dengan senyum miring. "Kapan lo kawin? Lo kan pelakor."

Gerda mendengus pelan, sedangkan Medhya tergelak. "Jangan berantem ya, teman-teman. Nggak lucu tahu, ada Bridesmaids cakar-cakaran."

"Gue beneran nggak boleh ambil foto buat dokumentasi? Satu aja. Nggak akan gue spill siapa lakinya, kok."

"Nggak lo spill juga dunia bakalan tahu kalau lakinya Prambudi nomer dua. Nggak usah lah macam-macam selagi lo memang masih sayang nyawa." Gerda membalas cepat. "Sana, Ben. Pergi. Kami bertiga mau ngobrol serius."

"Kalau foto--"

"Nggak boleh, bencong! Udah dibilangin baik-baik masih aja ngeyel! Pergi nggak lo!" Gerda mengacungkan tinjunya pada Benno. Mendelik, memberi ancaman.

"Thanks, ya." Medhya menyentuh tangan Benno sebelum lelaki itu pergi. "Nya, coba kamu telepon Mas Sangga. Tanya, Ginan udah dimana."

"Udah deket, kok. Sebentar lagi sampai." Anya menunjukkan pesan singkat Sangga pada Medhya. "Laki lo bener-bener, ya. Masak di hari pernikahannya, dia masih lembur semalaman, coba?"

Medhya terkekeh pelan. "Ya makanya itu aku minta tolong Mas Sangga dan Mas Antha buat ngawasin dia. Kalau enggak gitu, mungkin hari ini dia masih masuk kerja karena lupa tanggal pernikahannya sendiri." Medhya mengendik. Berdiri dari kursinya.

STROBERI DAN KOPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang