44

40.2K 3.3K 153
                                    

EMPAT PULUH EMPAT : BERSITEGANG




"Kamu ketemu Papa?" Ginan menatap peremp yang ada di atasnya dengan kaget. "Kapan?"

Medhya berkedip-kedip sejenak kemudian menjawab dengan santai. "Sebelum kamu pulang." Bahunya yang telanjang bergidik pelan. "Mas dingin," keluhnya.

Ginan menaikkan selimut yang menutup tubuh polos mereka keatas. Memeluknya lebih erat. "Kok kamu nggak cerita?"

"Ini aku cerita," ujarnya, tanpa beban. "Aku di jemput orang kepercayaannya Papa, terus ngobrol di rumah kamu. Gila, Mas! Rumahmu lebih gede dari rumahnya Pak Hary Tanoe! Ada pohon kelapanya banyaaak banget! Tinggal ditambahin ombak sama air aja, rumahmu siap jadi pantai! Aku sempat mikir, apa jangan-jangan Papa melihara paus sama lumba-lumba juga di dalam sana?"

Berbanding terbalik dengan Medhya yang sibuk bercerita dengan sangat santai, Ginan langsung merangkum wajah sang istri dengan panik. "Kamu di apain sama Papa?"

Yang di khawatirkan justru membalas dengan tenang. "Di ajak minum teh chamomile sama di kasih sertifikat tanah."

Ginan menyerngit. "Ha?"

"Kamu belum pernah minum teh chamomile?" tanya Medhya, terkejut. "Itu lho, Mas, teh yang bisa meningkatkan kualitas tidur dan menurunkan tekanan darah tinggi. Katanya, darah tinggi Papa kumat gara-gara dengar berita kita nikah dari Pak menteri--"

"Bukan itu, Zaline!" serunya geregetan. "Kamu dikasih apa tadi? Sertifikat tanah?"

Medhya mengerjap sejenak sebelum mengangguk lagi.

"Iya, aku di kasih sertifikat tanahnya bunda yang ada di Bali itu." Ia menopang tangan diatas dada Ginan kemudian melanjutkan. "Kata Papa, daripada sertifikat itu dijual ke kamu, mendingan dikasih ke aku aja. Gitu."

"Tapi aku ini anaknya."

Medhya mengendik. "Mana aku tahu. Mungkin kamu nyebelin jadi anak. Makanya Papa nggak kasih sertifikat itu ke kamu." Ia tergelak saat Ginan mendengus sebal.

"Still," Ginan berdecak kesal. "Kamu tahu, nggak? Aku jungkir balik nyari cara supaya Papa jual sertifikat tanah itu ke aku. Segala hal kulakuin, mulai dari memberi limit di kartu Mama sampai mencopot seluruh orang kepercayaan Papa. Nggak ada satupun yang mempan. Tahu-tahu, sertifikatnya malah dikasih begitu aja ke kamu. Dikira selama ini aku bercanda apa?"

Medhya nyengir. Mengelus rahang Ginan dengan alis naik-turun. "Kalau gitu, aku keren banget dong, ya?" tanyanya.

"Sebenarnya kamu ngomong apa sama Papa sampai dikasih sertifikat tanah?"

"Ngomong apa? Seingatku, aku nggak ngomong apa-apa, kok. Ngg ... Aku cuma bilang, 'semoga papa panggil aku bukan buat ngomelin, tapi buat ngasih hadiah' gitu. Eh, tahunya di kasih beneran!" Perempuan itu bercerita dengan semangat. "Tapi aku nggak minta kok, Mas! Serius! Papa ngasih sendiri."

Ginan berdecak lagi, masih curiga. "Mencurigakan," gumamnya. "Habis ini, sertifikatnya kasih ke aku. Biar aku yang pegang. Nanti kita balik nama jadi kamu--"

"Udah, Mas. Udah dibalik nama sama Papa seketika itu juga." balasnya, lagi-lagi membuat Ginan terkejut. "Satu kosong!" seru Medhya dengan tampang meledek. Ia bertepuk tangan, bangga dengan dirinya sendiri. "Aku menang dari kamu dalam hal merayu Papa. Yeaay!"

Ginan menyipit. "Wah, nantangin kamu." Bisiknya  "Kubuat sepuluh kosong sekarang juga bisa, lho. Sampai subuh nih, ya!" Ia membalik tubuh gadis itu, mendesaknya dengan senyum nakal.

"Mas Ginan! Enggak mau! Ah, enggak!" Medhya tertawa-tawa sambil mendorong tubuh Ginan menjauh. "Ampun, ampun! Udah! Enggak mau! Aku encok!"

Ginan menatap jahil pada Medhya yang sedang menutup dadanya dengan kedua tangan.

STROBERI DAN KOPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang