34

39.1K 3.3K 120
                                    

TIGA PULUH EMPAT : SEPERTI SEPOTONG HATI YANG LUKA




"Dia mabuk?"

Ginan mengangguk. Menyingkirkan kaleng-kaleng bir dari meja, melirik Devintari, Anya, dan Sangga yang menatap Medhya dengan takjub.

"Yaya," Anya berjongkok, menepuk-nepuk pundak Medhya sambil memanggilnya. "Yay, bangun. Jangan malu-maluin gue, ah!"

"Minum berapa banyak sampai ambruk begitu?" Sangga bertanya. Ia duduk di atas karpet, tepat di sebelah Ginan sambil menonton kejadian langka tersebut.

Ginan mengangkat dua jarinya.

"Dua puluh kaleng?" Devin menyerngit kaget. Ia menyusul di sisi Sangga. Menonton Anya yang masih berusaha bicara dengan Medhya.

"Mati kalau begitu." Sangga menimpali.

"Dua belas?"

Ginan menggeleng. "Dua. Itupun nggak tuntas." Katanya, menggoyangkan kaleng bekas Medhya sejenak lantas terkekeh geli. Ia meneguk habis sisa minuman Medhya sambil melirik gadis itu lagi.

Lagaknya saja sombong sekali. Sok minta Vodka, wine, wiski. Padahal, baru minum bir yang kandungan alkoholnya serendah ini saja sudah tepar. Ck. Dasar, Medhya Zalina Mukhtar. Ada-ada saja kelakuannya.

"Dua kaleng langsung teler?" Devin takjub sekaligus heran. "Kok bisa?"

"Bisa saja. Itu artinya, dia memang nggak toleran sama alkohol." Sangga menjawab sang adik lagi. "Untung minumnya sama lo."

"Anthariksa mana?" Ginan bertanya. "Tumben nggak ikut?"

"Tadi nganterin si Hartanto nomer dua pulang ke rumah orangtuanya di Menteng."

Sementara ketiga Prambudi itu sibuk berbincang, Anya sedang bekerja keras menyadarkan Medhya.

"Ini berapa?" Ia menggerak-gerakkan ketiga jarinya di depan Medhya yang tengah mengerjap-ngerjap macam bocah lima tahun yang sedang belajar menghapal angka. "Gue siapa?"

Bukannya menjawab, Medhya justru menangis. Hal itu langsung menyita seluruh perhatian orang-orang di ruang tengah rumah itu dengan segera.

"Hiks ... Pahit."

"Apanya yang pahit?"

"Minumannya pahit. Aku nggak suka." Kepalanya terantuk-antuk. Masih menangis dengan suara berlebihan.

"Kalau mau yang manis, lo harusnya minum Jasjus, bukan alkohol." Gerutu Anya, tengsin melihat tingkah Medhya saat sedang mabuk. "Cupcup. Jangan nangis."

"Panas." Medhya sesenggukan sambil menarik-narik gaunnya sendiri.

Anya menghela napas panjang. "Apanya yang panas?" Ia menyibak rambut panjang Medhya ke pundak. Menepuk-nepuk pipi sang sahabat dengan lembut.

"Mau lepas baju."

"JANGAN!" Ginan langsung bangkit ketika melihat Medhya menurunkan resleting depan gaunnya. Ia melompat kearah sang kekasih, menutup lagi dress satin itu dengan segera.

Seruan Ginan yang cukup kuat membuat Medhya berjingkat kaget. Matanya yang memerah berkedip-kedip sejenak. Bibirnya melengkung turun dengan ekspresi sedih, lantas suara tangisnya mengeras lebih dari sebelumnya.

"Huaa, jangan di bentaak," rengeknya, terisak-isak kencang. "Nanti ... Hiks ... Kubilangin Mas Ginan," tangisnya sesenggukan. "Nggak boleh jahat gitu." Ia terpejam ketika Ginan mengusap airmata di pipi. "Dosa!"

"Iya-iya. Nggak boleh jahat." sahut Ginan sembari meraih tissu, mengusap seluruh wajah Medhya dengan hati-hati. "Jangan di buka bajunya, ya?"

"Jangan pegang!" Medhya menjerit tiba-tiba. "Nanti Mas Ginan marah." Ia merengek lagi dengan sedih. "Kamu jahat, Devintari. Aku nggak suka." Ia menutupkan kedua tangan di depan dada. "Jangan pegang. Jangan."

STROBERI DAN KOPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang