50

35.8K 2.9K 139
                                    

LIMA PULUH : Berkelindan

"Sayang, bangun. Aku mau berangkat."

Medhya melenguh saat Ginan mengecup keningnya. Ia mengeriyipkan mata, menguap pelan sambil terduduk. Sementara Ginan sudah rapi dengan kaos, jaket, dan koper yang siap dibawa.

Seperti biasa, setiap sebulan sekali, Ginan akan pergi ke New York selama beberapa hari untuk mengontrol perusahaan dan maintenance beberapa hal. Meskipun sudah dua bulan menjalani perannya sebagai isteri yang sering ditinggal, kadangkala Medhya masih belum terbiasa dengan jadwal Ginan yang tumpang tindih.

"Bangun sebentar, tolong bikinin aku kopi, dong. Setelah itu kamu tidur lagi nggak apa-apa." Ginan berujar sambil bangkit dari kasur, mengecek ulang barang-barangnya.

"Jam berapa ini?" Medhya meraih ponselnya di meja samping kasur. Mengerjap lagi. "Masih jam setengah lima, Mas."

"Iya. Aku mampir PramIndo pusat dulu nanti, ada yang harus di ambil sebelum pergi."

Medhya mengangguk-angguk dengan mata menyipit, masih mengantuk berat. Perempuan itu bangkit dari kasur kemudian melompat ke pelukan Ginan hingga lelaki itu terkekeh. "Sayangnya aku,"

"Aduh, feeling-ku langsung nggak enak kalau kamu sudah begini," sambil mengangkat tubuh Medhya keatas dan menalikan kedua tangan di pinggang, Ginan menyipit curiga. "Mau apa?"

"Aku boleh minjem kunci mobil?" tanya Medhya, sambil mengecupi pipi Ginan. "Nggak enak di supirin terus. Aku kangen bawa mobil sendiri."

"Kamu kangen membahayakan keselamatan orang-orang di jalanan?"

Medhya merengek. "Enggak, kan aku sekarang pelan-pelan kalau berkendara."

"Pelan sih pelan, tapi kamu masih nggak becus parkir," gumam Ginan, menyentil jidat sang isteri dengan gemas. "Selain itu, kamu ini bisa dikatakan sebagai musuh bersamanya ibu-ibu bermotor di jalanan. Kamu bawa mobil asal terobos sana terobos sini, kamu pikir jalanan itu punyaku?"

"Enggak, aku janji pelan-pelan kok."

"Nggak boleh. Aku nggak mau pulang-pulang jadi duda." Ginan menolak dengan tegas. "Turun, ayo cepetan bikinin kopi. Keburu Leon datang."

"Aaaah," Medhya merengek lagi. "Tiga hari aja,"

"No," Ginan berjalan, masih dengan Medhya di gendongannya.

"Ya udah dua hari."

"No," Ginan membuka pintu kamar. Melangkah menuju dapur dengan santai.

"Satu hari setengah?"

"No," Ginan menggeleng lagi. Menyapa Bi Nani sejenak. "Pagi, Bi."

Bi Nani yang sedang membereskan isi kulkas pun hanya bisa melirik heran, melihat nyonya rumah menempel seperti koala di tubuh sang tuan dengan tatapan bingung namun maklum.

Masih pengantin baru. Wajar lah, bisiknya dalam hati. Mendingan juga begini, daripada tidak sengaja melihat dua majikannya itu melakukan kegiatan 'iya-iya' di sofa ruang tengah seperti yang Bi Nani lihat beberapa minggu lalu?

Bi Nani adalah saksi bisu yang melihat semua kelakuan muda-mudi tersebut dan kadang, membuatnya geleng-geleng kepala sendiri.

Tapi kalau boleh jujur, Bi Nani suka sekali melihat nyonya dan tuannya mesra begini. Seingatnya, mereka sudah jarang berduaan semenjak ibu nyonya datang. Mungkin segan, atau mungkin juga karena ibu nyonya memang terindikasi selalu mengganggu keromantisan anak dan menantunya sendiri. Entah yang mana penyebabnya.

"Mama belum bangun, Bi?"

"Belum, Mas. Mau saya bangunkan ibu nyonya dulu?"

Ginan buru-buru melarang. "Eh, nggak usah, Bi."

STROBERI DAN KOPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang