TIGA PULUH TUJUH : SEPERTI MIMPI KITA YANG MEGAH
Medhya sedang membaca pesan dari Anthariksa yang dikirim via email. Gadis itu menatap layar laptopnya lama, serius dan berulang. Dadanya berdegup menatap beberapa kalimat yang ia paham sengaja disamarkan Antha dengan istilah lain, seperti :
Gatama satu mencari informasi. Perkasa konstruksi, Columnee, dan Ivy.
Gatama dua. PramIndo pusat, lantas di susul beberapa deret nama beserta hal-hal pribadi yang Medhya tidak mengerti mengapa bisa ada disini. Alamat, latar belakang pendidikan, karir, serta keluarga, sampai kegiatannya sehari-hari.
Gatama tiga mengeksekusi.
Ia coba memahami satu demi satu informasi yang Antha beberkan sambil mendengar suara Ginan diseberang telpon.
"Sayang, you heard me, right?"
"Oh.. ya. Ya, tentu." Medhya menjawab, sambil membuka pesan yang lainnya lagi.
Firasatnya memang benar. Begitu kemarin Ginan memberitahu tentang dinas luarkota yang harus dia lakukan, di Bandung selama tiga hari guna membicarakan sebuah proyek perumahan mewah dengan calon investor atau apalah itu- katanya. Medhya mencium ada yang tak beres begitu tahu Anthariksa tak ikut serta.
Kalau yang Ginan kerjakan itu perjalanan bisnis biasa, sangat tak mungkin Antha di tinggal. Semua orang juga tahu betapa Ginan dan Antha selalu lengket kemanapun. Meskipun sering bertengkar macam anak TK rebutan es lilin, tapi keduanya adalah kombinasi terapik milik Prambudi Indonesia yang nyaris sulit dikalahkan jika bersama.
Dan tentunya, dengan sikap tenang yang Zoya tunjukkan selama ini. The hell, Medhya bukan gadis bodoh yang bisa ditipu dengan akting ningrat ala Zoya Halim. Tidak akan. Sikap santai yang ditunjukkan Zoya setelah rencana perjodohannya dengan Ginan berakhir, justru membuat Medhya makin curiga.
Zoya tidak terlihat seperti gadis yang gampang mengalah begitu saja. Dibalik sikap diamnya, gadis itu pasti punya rencana. Dan dibalik rencananya, gadis itu sudah pasti punya sokongan besar dibaliknya.
Dan Medhya memang tidak salah.
Oh ya ampun, untung saja dia masih menguasai teknik mengancam yang dipelajari dari Ginan bertahun silam. Dengan kemampuan jahat itu, dia bisa memaksa Anthariksa buka mulut meski sedikit. Setidaknya Medhya tidak sebuta kemarin. Sekarang, dia tahu apa yang sedang terjadi dengan Ginan meskipun lelaki itu jelas bermaksud menyembunyikan semua masalah ini darinya.
"Kamu sudah di ACC soal tanggal cuti?"
Medhya bergumam pelan. "Udah. Fiks tanggal tiga sampai sembilan, bulan depan," ujarnya. "Yang penting bisa pemberkatan di gereja." Medhya menyerngit saat membaca file di hadapannya. "Acaranya tanggal lima, lho. Awas aja kalau kamu lupa."
"Nggak mungkin lupa, lah." Jawab Ginan terkekeh pelan. "Cincinnya sudah selesai di sesuaikan sama jarimu? Gaunnya juga gimana? Minta tolong Devintari kalau kamu susah."
"Udah. Tenang aja."
"Kamu tuh terlalu tenang untuk ukuran orang yang mau menikah seminggu lagi. Biasanya, perempuan lain sibuk ngurusin ini-itu dan marah-marah sama pasangannya kalau harus melakukan semuanya sendirian."
Medhya mengklik sebuah pesan kemudian menjawab. "Buat apa aku marah-marah ke kamu? Kamu aja nggak peka, nanti aku sendiri yang capek."
Ginan terkekeh kecil.
"Lagian, aku juga nggak menyiapkan semuanya sendiri, kok. Kamu lupa, karyawanmu yang banyaknya kayak rombongan karnival itu sering bolak-balik ke rumahku cuma buat nanya 'ada yang bisa saya bantu, Mbak Medhya?' tiap pagi dan malam? Tiap kali lihat mereka, aku berasa lagi nginep di hotel bintang lima dan dapat pelayanan khusus." Tambahnya, setengah menyindir.
KAMU SEDANG MEMBACA
STROBERI DAN KOPI
Romance[Season kedua dari : Do you remember your first cup of coffee] Bahwasanya setelah patah dan hancur lebur bersama kehilangan bertubi-tubi yang ia rasakan di masa lalu, sebuah luka amat besar masih menghuni hatinya. Medhya sadar bahwa hatinya tak siap...