DUA PULUH EMPAT : DIBALIK CEMBURU
"Makan yang banyak," Medhya mengangsurkan piring berisi pangsit ke depan Naira yang sibuk menyumpit makan siangnya. "Setelah ini kita masih harus kembali ke set buat persiapan syuting selanjutnya. Kerjaan kita hari ini banyak, jangan sampai kelaparan."
Ia tersenyum tipis menatap gadis muda itu."Makanan disini enak-enak ya, Mbak? Pantesan karyawannya kelihatan happy semua," mata Naira mengitari kantin Gatama Media kreatif dengan teliti. Melihat lalu lalang manusia yang sibuk dengan makan siangnya di segala tempat. Hari ini, mereka punya agenda kerja di GMK berhubungan dengan syuting beauty and fashion yang di tangani Medhya.
Sejujurnya, Naira selalu antusias tiap kali Medhya mengajaknya ke GMK. Sebab disini, ia bisa melihat set syuting dari beberapa video yang sering ia tonton di rumah. Bisa melihat langsung proses syuting bahkan beberapa talent yang berbakat. Selain itu, Medhya juga sering mentraktirnya makan seperti sekarang. Hal ini tentu saja membuat pengeluaran Naira sedikit berkurang.
"Di kantor kita ada banyak penjual mie ayam enak. Kamu nggak tahu?" Medhya membuka botol mineral kemudian meneguk isinya.
"Yang di depan konter pulsa itu, Mbak?"
Medhya mengangguk. "Lain kali saya traktir makan disana."
Senyum lebar Naira tersungging. Gadis itu tidak sanggup menahan sorot malu-malu ketika Medhya lagi-lagi memindahkan irisan daging dari piringnya ke milik Naira. "Mbak Yaya nggak makan?"
"Saya nggak selera."
"Nggak enak badan, Mbak?"
"Dikit,"
Naira mengangguk lagi. Sambil mengunyah makanannya, gadis itu tertarik pada beberapa orang yang sedang berjalan menuju mejanya. Mata Naira memicing. Bibir gadis itu membentuk bulatan kecil sambil mengacungkan sumpitnya kearah gerombolan tersebut. "Mbak ... Itu ..."
"Kenapa? Mau nambah lagi?" tanya Medhya, sibuk memainkan ponsel. "Ambil aja, Nai. Bungkus bawa pulang buat makan malam di kosan juga nggak apa-apa. Hari ini saya yang traktir."
"Bukan, Mbak. Tapi ada itu ..." Naira mendekatkan wajahnya pada Medhya, berbisik.
Tatapan Medhya beralih dari ponsel guna mengikuti arah pandang Naira. Ia baru menoleh ketika sebuah suara yang cukup familiar terdengar di telinga. "Ada ap--" kalimat Medhya terhenti seketika.
Oh. Sial.
Medhya mengerjap pada sosok lelaki berkemeja hitam tersebut. Tatapan mereka bertemu sesaat sampai akhirnya lelaki itu mengalihkan pandangan.
"Disini aja." Devintari meletakkan nampannya di meja. Tepat di sebelah Medhya. "Mas Ginan duduk di situ. Lo di sebelahnya." Devin melirik Medhya sekilas sambil menyeringai. "Oh, sori. Gue nggak lihat ada lo. Ya ampun, gue pikir siapa," ujarnya dengan nada menyebalkan.
"Nggak apa-apa kita gabung disini? Takutnya ganggu karyawan yang lagi makan," seorang perempuan bertanya dengan suara lembut. Menyita perhatian Medhya sejenak dari wajah Ginan yang terlihat tak antusias bertemu dengannya.
Apa-apaan. Siapa perempuan itu? Berani sekali berdiri terlalu dekat dengan Ginan. Batin Medhya, lantas menunjukkan ekspresi terganggu saat perempuan itu menatapnya.
"Tenang aja. Dia bukan karyawan disini, kok." Devin menyahut. Memberi aba-aba agar mereka duduk segera. "Lagian nggak ada tempat kosong. Kalau nggak mau, lo aja yang pergi." Ia mulai bersiap-siap menggunakan sendok.
Ada jeda cukup lama sampai akhirnya Ginan meletakkan nampannya di meja itu. Duduk berhadapan dengan Medhya tanpa meliriknya sama sekali.
Alih-alih menyapanya, Ginan justru menarik kursi untuk Zoya. Mempersilahkannya duduk dengan lembut. Menimbulkan rasa tidak suka di benak Medhya seketika itu juga.
Medhya melengos. Enggan melihat Ginan yang memperlakukan perempuan selembut saat bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
STROBERI DAN KOPI
Romance[Season kedua dari : Do you remember your first cup of coffee] Bahwasanya setelah patah dan hancur lebur bersama kehilangan bertubi-tubi yang ia rasakan di masa lalu, sebuah luka amat besar masih menghuni hatinya. Medhya sadar bahwa hatinya tak siap...