16

36.1K 3.6K 142
                                    

ENAM BELAS : MENENTANG NURANI


"Kamu yakin punya SIM?" Tanya Ginan setelah selesai mengelus dada. Di tatapnya kelakuan sang kekasih dengan sabar. Ia tidak menyangka, kualitas menyetir seorang Medhya rupanya seburuk ini. Saking buruknya, nyaris membuat Ginan mati muda kena serangan jantung.
Ia was-was sepanjang jalan melihat mobil merah itu menyelip truk dan bis pariwisata berkali-kali. Serius. Medhya Zalina Mukhtar benar-benar gambaran manusia yang tidak seharusnya di luluskan dalam tes mengemudi di belahan negara manapun. "Coba tunjukkan SIM-mu sekarang kalau memang betulan ada,"

Medhya mengambil dompet lalu membukanya, menunjukkan kartu ijin mengemudi di hadapan Ginan dengan pongah. "Nih!" Ia segera mengantongi dompetnya lagi. "Kok kamu kesannya meremehkan aku gitu, sih?" tanyanya ketus. "Kamu nggak lihat aku nyetir dari kantor sampai rumah sendiri?" Ia menutup pintu mobil lalu berjalan beriringan menuju rumah.

"Aku lihat dengan sangat jelas waktu kamu di maki sama ibu-ibu yang motornya hampir kamu tabrak karena meleng tadi."

Medhya mendengus kencang. "Aku cuma lupa nge-rem. Ibu-ibunya aja yang emosian," elaknya, "Bisa nggak sih, kamu stop mencurigai aku?"

"Ya gimana aku nggak curiga? Sekarang coba kamu lihat sendiri, caramu memarkirkan mobil aja zig-zag begitu." Ginan menghela napas, menatap mobil Medhya yang tidak terparkir dengan rapi di tempatnya. "Kamu bahkan hampir nabrak mobilku tiga kali sepanjang parkir barusan."

Medhya melengos. Gadis itu berjalan lebih dulu memasuki rumahnya. Ginan mengikuti dari belakang sambil terus berceramah mengenai cara menyetir yang baik dan benar.

"Lebih baik aku antar jemput kamu tiap hari daripada harus lihat kamu bawa mobil sendiri kayak tadi. Aku yang lihat dari belakang aja jantungan!" Ginan berujar penuh tekanan. "Bayangkan berapa banyak nyawa manusia yang terancam kalau aku tetap membiarkan pengendara ugal-ugalan macam kamu berkeliaran di jalan raya? Astaga. Kamu memang nggak seharusnya dibiarkan nyetir sendiri."

"Apaan sih, udah deh kamu diem." Medhya menyipit. Menutup pintu rumah setelah Ginan lebih dulu menuju ruang tengah dan duduk di sofa. "Aku mau mandi." Ia berderak meninggalkan Ginan ke dalam kamar.

Sedangkan Ginan hanya menggeleng pelan. Ia mengambil remote TV lalu menyalakan benda elektronik itu sembari menunggu.

Ia menghela napas panjang. Merilekskan otot-otot tubuh yang tegang setelah di gunakan seharian bekerja.  Sambil rebahan di sofa, Ginan menonton acara lawak malam itu dengan wajah datar. Berdecih sesekali sebab merasa guyonan yang tersaji tak lebih lucu dari kelakuan Anthariksa setiap harinya. Oh. Jika saja Antha tidak terlahir sebagai keturunan Prambudi, yang mana adalah konglomerat kelas atas di Indonesia, Ginan yakin sepupunya itu akan jadi pelawak sukses nomer satu dalam negeri saking tidak beres otaknya.

Tak berapa lama, Medhya sudah keluar dari kamarnya dengan kaos rumahan berwarna abu-abu polos sepanjang lutut. Rambut panjangnya tergerai, wajahnya mengerut tipis.

Ginan meliriknya sekilas. "Apa?"

Gadis itu menggelengkan kepala. Mendekat lalu menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan. Menimpakan berat tubuhnya di atas Ginan, kemudian merengek tanpa kata.

"O-ow," Ginan menahan pinggang Medhya yang hendak jatuh. "Nakal ya, Medhya. Asal naikin badan orang sembarangan. Ini kalau aku terpancing, kira-kira kamu mau tanggung jawab nggak?"

Sejujurnya, tubuh Medhya terbilang ringan. Tapi, jika ia membiarkan gadis ini tetap diatasnya, keadaan bisa berbahaya. Ginan sadar bahwa dirinya sudah tidak sekebal dulu. Maka dari itu, ia memiringkan tubuh, menurunkan Medhya ke sisinya. "Bahaya banget," kekeh Ginan, menertawakan dirinya sendiri.

"Aku nggak mau ngomong sama kamu. Aku masih marah." Gumam gadis itu, memancing dengus geli Ginan kemudian.

"Marah kok peluk-peluk manja. Marah macam apa itu," ledeknya, memainkan rambut gadis itu pelan.

STROBERI DAN KOPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang