TIGA PULUH SATU : Seperti tepian yang kuharapkan
"Gerda kayak tai!"
"Nya," Medhya mengurut keningnya dengan lelah. Ia melirik Anya yang ngomel sambil bolak-balik dari layar laptop. Tepat saat ia mengumpat Gerda habis-habisan, televisi di belakang Medhya sedang menayangkan iklan sabun yang bintang utamanya adalah Gerda.
".. taklukkan dunia dengan kesegaran alami dari perawatan terbaik. Kulit merona sepanjang hari, Lixie."
"Kulit merona apanya! Lo kotor, Gerda! Tai anjing!"
Medhya mengelus-elus dada. "Nyaa," panggilnya lembut. "Kamu mau ngomong sampai mulutmu keluar minyak bumi juga Gerda nggak akan dengar."
Anya menjambak rambutnya sendiri sembari mendesah panjang. "Bisa-bisanya gue kecolongan." Ujarnya geregetan. "Dan bisa-bisanya lo nggak bilang ke gue meskipun udah tahu duluan!"
"Mau gimana lagi." Medhya melirik Anya dengan iba. "Aku bilang pun, nggak akan merubah apa-apa. Kalau itu sudah keputusan Gerda, maka dia pasti sudah siap dengan apapun konsekuensinya nanti."
"Tapi nggak sama Kokoh gue juga, dong!"
"Ya udahlah, Nya."
"Lo gampang ngomong begitu, Yay. Gue gimana, coba? Bayangin, gue ada diantara Kokoh gue dan sahabat gue! Apa yang harus gue lakukan kalau nanti Gerda patah hati? Nggak mungkin gue ngata-ngatain Kokoh gue sendiri."
Untung saja hari ini Medhya pulang kerja cepat. Coba kalau tidak? Mungkin saat ini Anya sedang jungkir balik didalam kamar hotelnya sendirian untuk melampiaskan amarah.
Medhya berdecak pelan. "Kamu nggak melakukan hal-hal radikal ke Gerda, kan?"
"Pengennya sih, gue tenggelamkan mereka berdua di laut, biar lebih cepat kelar semua urusan!"
"Gerda dimana sekarang?"
"Di apartemen Kokoh gueee!" Anya kelihatan sangat tertekan. "Kokoh gue beli apartemen baru demi ngumpetin si Gerda! Mereka tidur bareng, Yay! Lo bayangin! Kepleset dikit tuh kondom, bisa-bisa gue terancam punya ponakan yang bentukannya kayak Gerda!"
Medhya terpingkal-pingkal. "Brengsek. Ternyata itu yang kamu takutkan?"
"Ya Tuhan. Susah-susah gue makan hati ngeladenin Sangga yang kelakuannya kayak bedebah, ini semua gue lakukan demi kesejahteraan keluarga, tahunya Kokoh gue sendiri yang malah menghancurkan usahanya."
Medhya masih terkekeh-kekeh geli. "Bukannya dulu kamu sendiri yang ngejodohin mereka?"
"Itu dulu, Yay." Anya menggersah. "Sebelum Kokoh gue jadi calon suami orang!"
Hanya gumaman singkat yang bisa Medhya berikan sebagai tanggapan.
"Lo ngomong dong, Yay, sama si Gerda." Anya mendekati layar laptop. Menatap Medhya dengan raut memohon. "Suruh udahan aja sama Kokoh gue."
"Nggak akan mempan, Nya." Medhya tersenyum geli. "Aku udah pernah ingetin dia sebelum ini. Tapi kamu lihat sendiri, kan? Bukannya mundur, Gerda malah makin ngegas." Lanjutnya lagi. "Memang Gerda tuh harus di biarin aja udah."
"Lo nggak ada peduli-pedulinya sama Gerda, Yay? Dia lagi menjalin hubungan terlarang sama calon suami orang, lho."
"Gini, Nya ..." Medhya berujar pelan.
"Bisa dibilang, ini akan jadi pengalaman cinta pertama Gerda yang sesungguhnya. Selama ini dia dekat sama banyak orang, sering putus nyambung entah berapa puluh kali banyaknya. Tapi kita sama-sama tahu, lah, Gerda nggak pernah macam-macam dengan para mantannya." Tutur Medhya dengan yakin. "Kalau sekarang Gerda memutuskan mengambil langkah seekstrem ini dengan Koh Edgar, aku yakin dia sudah melewati banyak pertimbangan sebelumnya. Itulah kenapa aku bilang, kita sebagai teman nggak bisa melakukan apa-apa. Gerda udah menentukan apa yang dia mau. Kita doain aja supaya pas Koh Edgar menikah nanti, Gerda nggak patah-patah banget. Kalaupun patah, seenggaknya dia masih punya kita. Udah gitu aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
STROBERI DAN KOPI
Romance[Season kedua dari : Do you remember your first cup of coffee] Bahwasanya setelah patah dan hancur lebur bersama kehilangan bertubi-tubi yang ia rasakan di masa lalu, sebuah luka amat besar masih menghuni hatinya. Medhya sadar bahwa hatinya tak siap...