12

37.5K 3.7K 195
                                    

DUA BELAS : MEMANJAT LUKA





"Mas Ginan-Mas Ginan, kamu ini kan arsitek, ya?"

"Mm-hm,"

"Bisa nggak suatu hari nanti, kamu bikinin aku rumah yang bagus banget? Yang halamannya luas, ada banyak pohonnya biar adem, mmmh ... Terus nanti kita tanam berbagai jenis bunga disana, biar warna-warni. Terus-terus, ada ayunannya juga di bawah pohon."

"Banyak sekali mau mu,"

"Ada lagi. Aku mau di pintu masuk nanti, kamu ukir namaku yang besar, biar semua orang bisa tahu, kalau itu rumah yang kamu bikin khusus buatku!"





Medhya menghembuskan napas berat ketika segerombol kenangan menyerang ingatannya dengan sporadis. Ia menggigit bibirnya sambil menutup mata sejenak. Potongan percakapan itu tersusun acak, namun terasa jelas dan nyata.

Gadis itu mengelilingkan pandangan pada rumah besar dengan halaman luas, pohon-pohon ketepeng yang rindang, bunga-bunga yang bermekaran dan tepat sampingnya, ada ayunan yang menyatu dengan pohon paling besar disana. Langkahnya terhenti di pintu masuk. Ia mendongak dan melamun cukup lama sampai Ginan berhenti berjalan dan menoleh ke belakang.

"Aku belum sempat mengukir nama kamu di pintu," ujarnya santai sekali.

Berkebalikan dengan Medhya yang kini menunduk, menutup wajahnya dengan telapak tangan sambil menyesali setiap perkataan dan janji-janji yang ia buat di masa lalu. Ia benci dengan tingkahnya dulu. Tapi, ia jauh lebih benci pada Ginan karena lelaki itu mengingat setiap keinginan tidak masuk akal yang ia ucapkan dengan baik. Bahkan membuat mimpi-mimpi kekanakan itu jadi nyata satu persatu.

"Kenapa berdiri di situ? Ayo masuk," Ginan mengulurkan tangannya. "Aku akan minta orang untuk mengurus mobilmu disana. Jangan khawatir."

Medhya menatap tangan Ginan lekat. Mengedarkan pandangannya ke dalam ragu-ragu. "Ini rumahmu?"

"Akan jadi rumahmu kalau nanti kita menikah," balasnya geli.

Medhya berdecak. Lantas ia mundur selangkah ketika ingat sesuatu. "Bukannya ... keluarga kamu ada disini?"

Ginan mendekatinya. "Mereka semua menginap di hotel Prambudi. Nggak mungkin disini, lah. Nggak akan cukup kamarnya," Ia menggenggam tangan Medhya kemudian mengajaknya masuk. "Sebentar lagi Sangga dan temanmu menyusul kesini. Mereka harus mampir ke suatu tempat dulu,"

Medhya mengangguk pasrah saat Ginan mendudukkannya di sofa berwarna hitam pekat. Ia melirik kitchen set mewah beberapa langkah dari tempatnya duduk. Ada bar station dengan koleksi wine berjejer rapi di atasnya. Beralih ke lantai yang berwarna cokelat kayu. Lalu desain rumah yang dibuat simple dan to the point di semua bagian.

"Suka?" Ginan kembali dari arah kulkas, membawa sekaleng minuman manis untuknya. Ia membuka tutup kaleng tersebut sebelum disodorkan pada Medhya. "Kalau nggak suka, aku tinggal renov kapan-kapan," katanya, duduk di sebelah Medhya. "Atau bikin lagi. Manapun yang kamu inginkan."

Medhya meneguk minumannya sambil mengernyit. "Ternyata benar apa kata Gerda,"

Ginan menopang dagu, tampak tertarik. "Memang apa katanya?"

"Asetmu banyak. Jadi, mumpung kamu masih ngejar-ngejar aku begini, kata Gerda aku harus gunakan kesempatan ini untuk morotin duit kamu sebanyak mungkin,"

Ginan tergelak pelan. "Kamu bisa melakukannya seumur hidupku,"

"Kata Anya, duitmu nggak akan habis tujuh turunan," Medhya melanjutkan. "Itu belum termasuk warisan yang akan kamu dapat sebagai cucu Prambudi. Memang iya?"

STROBERI DAN KOPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang