TIGA PULUH DUA : SEPERTI HARAP YANG KITA PUNYA
"Sofanya sudah ku buang,"
"Ya terus?" Sambil membenarkan letak antingnya lewat rear view mirror, Medhya menjawab perkataan Ginan yang tengah menyetir dengan wajah serius.
"Seharusnya kamu sudah nggak marah lagi." Lelaki itu meliriknya. "Cantik banget sih kam--"
"Jangan pegang-pegang!" Medhya menggeplak tangan Ginan yang hendak menyentuh pipinya.
Lelaki itu terkekeh. "Nanti setelah acara, mau menginap dulu atau langsung pulang Jogja?"
Medhya menjepit sebagian rambutnya ke belakang. Mengambil lipstik dari tas lantas memakainya dengan santai. "Nginep lah. Aku tuh capek kalau harus bolak-balik seharian, meskipun kamu angkut pakai private jet begitu." Sindirnya, mengungkit kelakuan Ginan yang siang tadi tiba-tiba datang dan mengajaknya berangkat ke Jakarta untuk menghadiri acara pertunangan Sangga dan Anya.
Medhya kira mereka tak jadi pergi karena beberapa hari sebelumnya, ia memang sedikit ngambek gara-gara insiden 'sofa tempat ciuman' di rumah Ginan.
Setelah beberapa hari berlagak tak punya salah, laki-laki itu mendadak muncul ke rumahnya sambil memamerkan senyum santai dan berkata,
"Kok kamu belum siap-siap, sih?"
"Siap-siap apa?"
"Kita kan mau kondangan ke Jakarta."
"Aku bahkan belum pesan tiket pesawat,"
"Buat apa beli tiket segala? Private jet ku aja nganggur,"
Ya. Betul. Se-enteng itu rahangnya bicara soal harta bendanya yang fantastis.
Orang sinting ini benar-benar tidak paham bahwa kaum menengah ke bawah seperti Medhya perlu penyesuaian sebelum naik kasta. Di kiranya, Medhya nggak kaget, gitu, tiba-tiba bisa naik pesawat pribadi yang super mewah?
Mana tampilannya seperti gembel saat Ginan mengajaknya pergi tadi!
"Udah cantik," Ginan meliriknya lagi. "Yang punya butik tadi itu temanmu?"
"Adik kelasnya Mbak Karen. Kami lumayan dekat soalnya pernah kerjasama buat JFW beberapa tahun lalu." Jawab Medhya, kini duduk dengan nyaman. "Untung aja ada dia. Aku bisa pinjam baju dan barang-barangnya sekarang."
"Kamu sih, di suruh belanja dulu nggak mau,"
"Emang kamu pikir, belanja barang-barang branded segampang beli kondom di Indomaret?"
"Lho, sudah pernah beli?" Ginan menyeringai. "Mana coba sini, aku mau lihat. Cocok nggak ukurannya denganku?"
"Mas Ginan, ah!"
Ginan terkekeh puas. "Lain kali aku akan tunjukkan rasa terimakasihku ke temanmu tadi. Tenang saja, aku jamin dia nggak akan menyesal sudah pernah meminjamkan barangnya ke kamu."
Medhya menyerngit, "Kamu kalau ngomong begitu, aku jadi was-was."
Ginan tergelak pelan. Ia mengambil dompetnya lalu di sodorkan pada Medhya. "Tolong buka dong, Sayang."
Tanpa curiga, Medhya menurut. Diambilnya dompet kulit tersebut lalu di buka.
"Yang itu ..." Ia melirik sebuah kartu. "..nah, iya. Yang itu punya kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
STROBERI DAN KOPI
Romance[Season kedua dari : Do you remember your first cup of coffee] Bahwasanya setelah patah dan hancur lebur bersama kehilangan bertubi-tubi yang ia rasakan di masa lalu, sebuah luka amat besar masih menghuni hatinya. Medhya sadar bahwa hatinya tak siap...