2

50.7K 3.9K 308
                                    

DUA : APA BEDANYA?












Dua tahun belakangan, nama GnP group mungkin sudah tak asing lagi di dunia perbisnisan tanah air.

Lebih tepatnya, setelah GnP mengakuisisi Zaline.co dari PramIndo. Zaline.co, atau yang sering di sebut Zalco sendiri adalah platform belanja online terbesar di Indonesia, kini sudah merajai e-commerce dalam negeri, menjadi tolok ukur kesuksesan sebuah perusahaan rintisan bagi segenap kelompok anak muda yang menekuni dunia start up.

Sisi konsumtif masyarakat Indonesia membuat Zalco menjadi salah satu perusahaan dengan profit terbanyak saat ini. Dan dengan itu, popularitas GnP sebagai induk perusahaan pun makin luas.

Setelah berhasil di bidang marketplace, Ginan mencoba peruntungan ke media digital yaitu Gatama Media kreatif (GMK) sebagai Founder sekaligus investor utama. GMK sendiri adalah media digital yang mewadahi konten-konten hiburan berkualitas mengikuti kebutuhan milleneals saat ini seperti YouTube, podcast, serial, mendanai beberapa proyek film dalam negeri, serta akan berinvasi ke pertelevisian Indonesia dalam waktu dekat.
Selain itu, Ginan juga memiliki beberapa penginapan, hotel, dan resort-resort mewah di daerah unggul pariwisata yang di tangani oleh beberapa anak Gatama termasuk Leon.

Setelah empat tahun memfokuskan diri dengan bisnisnya yang sedang berkembang, saat ini, Ginan sudah bisa bernapas lega sebab GnP telah mulai menancapkan cakarnya dimana-mana.

Satu-satunya yang tidak membuatnya lega adalah perihal hubungannya dengan Medhya. Mereka cukup lama berpisah hingga Ginan khawatir, apakah ia akan bisa berkomunikasi dengan Medhya seperti dulu lagi? Sepertinya cukup sulit.

"Pekerjaanmu menyenangkan?"

Medhya yang sedari tadi menatap keluar jendela pun menoleh. "Lumayan," jawabnya, teramat tenang. Tadi ia sempat marah-marah, tapi sekarang tidak lagi. Sepertinya, tenaganya sudah habis di pakai semua. Syukurlah.

"Gajinya cukup?"

"Kalau aku rajin nabung, gajinya bisa kubuat foya-foya tiap akhir tahun." Gadis itu melirik Ginan dibalik kemudi. "Kalau buatmu, mungkin cukup untuk membayar biaya perawatan mobil ini sekali."

Ginan mengulum senyum mendengar kalimat yang cepat, tanggap, dan penuh sarkasme barusan. Sungguh berbanding terbalik dengan Medhya yang ada dalam ingatannya. Gadis ini culas dan defensif, tapi bagaimanapun bentuknya, ia tetap suka. "Ini kemana lagi?" Rolls-Royce phantom berwarna putih itu melambat di pertigaan.

"Belok kanan, lurus." jawab Medhya menunjuk jalan dengan wajah serius. Perlahan, ia melirik Ginan. Agak ragu ketika memulai kalimatnya. "Aku .... dengar soal Mbak Brie."

Suasana remang-remang di dalam mobil lantas berubah jadi sendu. Jari telunjuk Ginan terketuk pelan di setir, beberapa kali sampai ia akhirnya bergumam menimpali. "Nggak ada yang pernah tahu takdir manusia," katanya, melamun sejenak.

Medhya menghela napas pendek. "Aku turut berduka." Gadis itu menoleh, menatapnya lurus dengan tatapan melembut. "Dia satu-satunya sahabat baikmu. Kamu pasti ... sedih."

Sudah tentu. Sedih bahkan tak bisa menggambarkan betapa berduka ia ketika sahabat karibnya meninggalkan dunia. Dunia Ginan juga sempat terjeda sesaat setelah Brisia pergi. Ia juga merasa kosong beberapa saat lamanya.

"Kesedihanku bukan apa-apa dibanding rasa kehilangan Sangga." balas Ginan pelan. "Aku sedih, tapi Sangga lebih dari itu," tambahnya. "Dia harus merelakan perempuan yang dicintai selama-lamanya. Aku nggak kebayang gimana rasanya."

Medhya menunduk sejenak. "Aku dengar, Mbak Brie udah bertahan setahun," tanyanya ragu.

Ginan mengangguk, membenarkan. "Kankernya terlanjur menyebar. Kami semua sudah mengusahakan segala macam pengobatan. Tapi, Tuhan lebih mencintai Brisia, jadi nggak ada yang bisa menahannya lebih lama di dunia."

STROBERI DAN KOPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang