28

40.7K 3.6K 137
                                    

DUA PULUH DELAPAN : DIBALIK RASA



Belum sepuluh menit sejak Ginan menjatuhkan tubuhnya di kasur. Kini, pintu kamarnya di ketuk berulang. Membuatnya mau tak mau membuka kelopak matanya yang berat, meregangkan otot-otot tubuhnya yang tegang, lantas terduduk untuk beberapa saat. Ia melirik pintu kamar dengan kernyit dahi sebelum bangkit.

Ada Bi Nani yang berdiri dengan wajah serius di depan kamarnya.

"Kenapa, Bi?"

"Ada yang mau ketemu, Mas."

"Suruh pulang." Ia baru akan menutup pintu lagi ketika Bi Nani menambahi.

"Pacarnya Mas Ginan,"

Pacar?

Ginan menyerngit karena melihat bibir Bi Nani bergerak-gerak tanpa suara.

"Apa?" Tentu saja Ginan tidak punya bakat menerjemahkan gerakan bibir tersebut.

"Yang cantik tapi galak dan suka gigit orang itu lho, Mas." bisik wanita enam puluh tahunan tersebut, melirik ruang tamu dengan isyarat mencurigakan.

"Medhya?" tanyanya, agak terkejut.
Bukan apa-apa. Tapi, seingatnya, hubungan mereka sedang bermasalah. Percakapan terakhir mereka saja diakhiri dengan pertengkaran yang cukup sengit hingga tak ada satupun bentuk komunikasi yang terjalin hingga saat ini. Lantas, kenapa gadis itu tiba-tiba datang ke rumahnya? Malam-malam begini? Yang benar saja.

Ginan mengusap wajahnya sambil menghela napas panjang. Ia melirik jam dinding di depan kamar yang menunjuk pukul sebelas lebih, lantas dengan suara serak khas bangun tidur, iapun menjawab. "Suruh masuk ke kamar. Saya ngantuk."

"Ke kamar Mas Ginan?!" tanya Bi Nani heboh. Ia buru-buru membekap mulutnya saat menyadari nada suaranya terlampau tinggi. "Maaf, Mas." bisiknya lagi. "Baik, kalau begitu, tak sampaikan dulu ke orangnya."

Ginan mengangguk kemudian balik badan dan menjatuhkan diri lagi di kasur.

Tak berapa lama kemudian, sesosok gadis dengan tank top hitam dibalut blazer abu serta celana jeans masuk. Bunyi langkahnya mengetuk lantai dengan berisik. Ginan tebak, mood gadis itu pasti sedang buruk.

"Aku mau ngomong," selepas menutup pintu kamar, gadis itu berdiri di samping ranjang.

"Aku ngantuk," jawab Ginan terus terang. "Sudah tiga hari berturut-turut aku cuma bisa tidur dua jam perhari." gumamnya, membuka mata. Menyipit melihat si gadis sedang menatapnya lama.

"Ini penting,"

"Jam tidurku juga penting." Ginan berbalik menyamping. Melirik gadis itu sekilas sebelum akhirnya menutup kelopak matanya lagi.

"Tentang kita," ucap gadis itu lagi, mulai dengan suara pelan. "Maksudku ... Hubungan ini,"

"Terakhir kali, kamu sendiri yang bilang kalau kita tidak punya masa depan. Jadi, apa yang harus dibicarakan dari hubungan semacam itu?"

Cukup lama gadis itu diam. Tidak lagi menjawab. Keheningan yang terjadi akhirnya membuat benak Ginan terganggu.

Tidak biasanya Medhya gampang mengalah begini.

Maka iapun membuka matanya dan detik itu juga, ia mengerjap karena melihat Medhya sedang sibuk mengusap airmata di pipi. Gadis itu langsung balik badan saat tahu Ginan memergokinya.

"Kenapa?" Rasa kantuk Ginan mendadak menghilang begitu saja. Ia bangkit dan menyibak selimut, menatap Medhya cukup lama. "Kenapa datang-datang nangis?"

Gadis itu menggeleng pelan. Enggan mengaku.

"Siapa yang bikin kamu nangis?" tanya Ginan sebal, yang lantas di balas Medhya dengan isak pelan. "Kesini," Ginan mengulurkan tangannya. "Zaline, sini."

STROBERI DAN KOPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang