1.

20.3K 1.1K 16
                                    

"Ampuni saya, Marquess! Saya tidak bersalah!"

Tubuh ringkih itu diseret kasar menuju sosok pria berusia empat puluh tahun yang asik bercumbu dengan istri ke duanya. Mengabaikan isak tangis sosok ringkih yang dibanting tepat di depannya. Dengan pakaian yang jauh dari kata layak untuk wanita bangsawan, Arletta berusaha bangkit meski sekujur tubuhnya terasa remuk setelah menjalani siksaan dalam rumah mewah tetapi bak neraka ini.

Empat bulan sejak pernikahan paksa Arletta dengan pria tua yang usianya dua kali lipat usianya. Arletta hanya bisa menangis, berusaha meronta tetapi sia-sia.

"Marquess, hamba tidak bersalah. Hamba berani bersumpah, hamba tidak mencuri satu pun barang-barang Anda. Apalagi dengan tuduhan hina berselingkuh. Saya tidak pernah melakukannya, Marquess!"

Suara rintihan Arletta itu mengusik gendang telinga Allen. Pria berusia empat puluh tahun itu melirik sinis sosok istri ke tiganya itu. Meski cantik, tetapi tidak menggairahkan. Sangat tidak bergun, seperti sampah, mungkin memang saatnya membuang gadis itu.

"Pergilah!" usir Allen pada Carroline, gundik ke duanya.

Dengan wajah tak rela, Carroline pun bangkit, menatap kesal pada Allen yang berjalan menuju keberadaan Arletta yang hanya bisa bersimpuh di atas karpet merah milik sang Marquess. Namun, di sisi lain melihat penderitaan Arletta agaknya menjadi hiburan tersendiri bagi Carroline.

"Lady Arletta, Anda sungguh tidak berbudi. Bagaimana bisa Anda mengkhianati Marquess setelah kebaikannya pada keluargamu. Jika bukan karena belas kasih Marquess, seharusnya kau sudah menjadi tanah."

Pandangan Arletta terangkat, menatap sengit pada Carroline. Ada bara api membakar hati Arletta, memandang penuh amarah pada gundik Allen yang satu itu. Ingin rasanya Arletta mencabik mulut berbisa Carroline, tetapi apa daya, sedetik kemudian ia hanya bisa memekik kesakitan saat rambutnya dijambak kasar oleh Allen.

Jangan kira pria itu memiliki hati, dia hanyalah pria tua dengan harta dan takhta yang menganggap nyawa orang lain sebelah mata. Tak terkecuali Arletta. Gadis itu memekik kesakitan saat tangan kasar Allen mencengkeram rahangnya.

"Sepertinya aku harus menyobek mulutmu, Arletta. Jelas-jelas kau berselingkuh dengan Duke Alaric. Kau masih mengelak? Ah, tidak! Jangan bilang kau juga mata-matanya?"

Kedua mata Arletta menatap nanar Allen atas tuduhan tak berdasar itu.

"Marquess, saya tidak memiliki hubungan apa-apa dengan ... akh!"

Tanpa ampun, Allen menghantamkan kepala Amaya ke lantai. Tidak sekali, dua hingga tiga kali sampai darah mulai menggenang di atas lantai marmer itu.

"Kau tahu, meskipun kau memiliki wajah cantik, tetapi aku benci seorang mata-mata." Allen mengangkat wajah Arletta, rambut gadis itu berantakan menutupi wajahnya. Hanya tangis dan rintihan yang keluar dari mulutnya, membuat Allen semakin malas.

"Ambilkan pedang!"

"Siap, Tuan!"

Carroline yang mendengar itu segera berlari menyerahkan pedang pada tuannya. Wajahnya tampak begitu berseri, mendapati tontonan yang menyenangkan baginya. Kematian seseorang. Carroline sungguh menantikannya, senyum bahagia tak lekang dari wajahnya. Sangat kontras dengan Arletta yang nyaris kehilangan kewarasan dan kesadarannya.

"A-ampunh ...," rintih Arletta berharap mendapat belas ampun.

Meski telah memohon ampun, meski Arletta tak pernah bersalah atas semua tuduhan palsu itu, tetapi pedang di tangan Allen tetap terbang ke arahnya. Arletta masih ingat jelas bagaimana seringai Allen ketika pria itu berseri ketika melayangkan benda tajam itu hingga memenggal kepalanya.

I Choose The Villain DukeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang