53. Perasaan Yang Tertolak

1.3K 81 0
                                    

"Hebat sekali si Alaric itu masih bisa bertahan hidup sampai sejauh ini. Padahal kita sudah merencanakan pembunuhan yang cukup menguras tenaga."

Ramosha memandang lukisan wajah Alaric yang kini disimpan di gudang. Gudang yang di balik salah satu lemarinya terdapat pintu rahasia menuju ruang persembunyiannya dengan beberapa penyihir lain.

Anti sihir kerajaan ini mulai melemah dari waktu ke waktu karena usaha Ramosha dan kelompoknya untuk merusak semua alat itu. Hal itu dimaksudkan agar mereka lebih leluasa menggunakan kekuatan sihir. Serta mempermudah akses keluar masuk kerajaan Imaginary.

Hanya menunggu beberapa langkah lagi hingga mereka akan berhasil menguasai kerajaan ini. Membuat barrier yang lebih kokoh dan pusat kekuatan untuk melawan Falcon, sang raja iblis.

Sayang sekali dalam mewujudkan hal itu mereka masih terhalang oleh keberadaan Alaric. Pria itu tidak memiliki kekuatan apa-apa. Namun dengan basic militer yang begitu besar membuat mereka menjadi kewalahan sendiri. Untuk saat ini Ramosha dan Diego tidak bisa lebih leluasa menggunakan sihir mereka. Setidaknya mereka harus lebih bersabar untuk beberapa hari ke depan.

"Dia bahkan berniat untuk mencari keberadaan kita," gumam Ramosha menyentuh lukisan bagian wajah Alaric. "Mimpi saja yang tinggi."

"Tuan, saya memiliki berita yang sepertinya cukup penting untuk Anda." Diego berkata.

"Tentang apa itu?"

Diego tersenyum miring. Menunjukkan niatan yang licik.

"Ternyata Putri witney menyukai Duke Alaric Wilton. Raja Valius juga berusaha menjodohkan mereka berkali-kali. Namun, Duke Alaric selalu menolak tawaran itu dan berusaha mencari alasan. Bagaimana jika memanfaatkan kebodohan Putri Whitney yang sepertinya sejenis dengan kakaknya itu untuk merusak hubungan Duke Alaric Wilton dengan Lady Arletta?"

Mendengar laporan yang disampaikan Diego, Ramosha dibuat membelalak tak percaya. Mendadak kepalanya dibuat pusing karena tidak menyangka bahwa semua keturunan kerajaan memiliki pemikiran yang begitu dangkal. Padahal mereka telah memiliki kekuasaan dan hidup di antara sendok emas sejak kecil. Alih-alih memanfaatkan kekuasaan mereka untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya penghibur, mereka malah dengan tidak jelas mencari sesuatu yang tidak bisa mereka miliki. Sungguh manusia serakah.

Tidak heran karena sebenarnya Ramosha juga sering menemui orang-orang sejenis seperti itu. Dia sering membantu orang-orang rakus untuk menukar jiwa orang yang mereka cintai dengan harta, kekuasaan dan segala bentuk kenikmatan dunia. Pada dasarnya orang-orang yang bersekutu dengan para iblis dan penyihir itu adalah sekelompok sampah yang tidak berguna. Karena ketidakberdayaan mereka itulah mereka memilih tidak melalui proses perjuangan tetapi mau enak saja.

"Sekarang aku tahu kenapa Raja Valius begitu mengagung-agungkan Duke Wilton ketimbang anak kandungnya." Ramosha terkikik. "Ternyata memang anaknya tidak ada yang berguna sama sekali. Astaga, rupanya memang benar bahwa kejayaan yang dimiliki oleh orang tua belum tentu berlanjut kepada keturunannya."

***

Tanpa bisa dicegah lagi Putri Whitney berjalan menuju kamar yang dipergunakan oleh Alaric untuk menginap. Ketika beberapa hari yang lalu hatinya dibuat hancur dengan berita kematian Alaric yang begitu mendadak. Hari ini wajahnya dipenuhi oleh senyum lebar.

Ada rasa kerinduan yang teramat besar sehingga membuat dorongan tak tertahankan untuk segera bertemu dengan Alaric. Wanita itu melangkah dengan cepat nyaris seperti berlari. Hal itu membuat beberapa pelayannya histeris karena takut Sang Putri akan jatuh.

"Yang Mulia, Anda harus berjalan pelan-pelan!"

"Yang Mulia, nanti Anda jatuh!"

Namun, berbagai peringatan yang diteriakkan oleh pelayannya seolah tidak didengar oleh Whitney. Wanita itu bahkan tidak peduli jika keringat membasahi wajahnya. Padahal ia sudah berjam-jam memulai wajah agar terlihat sangat cantik dan menawan di depan Alaric.

Ketika ia sampai di depan pintu kediaman, wanita itu mengeluarkan kaca dari dalam sakunya lalu membenahi penampilannya yang sedikit berantakan. Setelah dirasa cukup, ini langsung mengembalikan kacanya ke dalam saku. Kepalan tangannya mengetuk pintu kayu itu beberapa kali.

Sama-sama dari dalam terdengar suara ketukan sepatu mendekat ke arah pintu. Tak menunggu lama pintu itu terbuka. Menampakkan sosok Alaric yang begitu tinggi menjulang.

"Apa yang Tuan Putri lakukan pagi-pagi di sini?"

Begitu melihat keberadaan witney di depan pintu kamar, seketika wajah Alaric dibuat masang. Padahal ini masih pagi. Namun, rupanya istana sebesar ini tidak pernah memberikan kesempatan bagi Alaric untuk menjalani hari-hari damai. Pria itu dibuat sangat heran dengan sikap Whitney yang tidak pantang menyerah pada sudah ia tolak berkali-kali. Tidak tahu setebal apa wajah wanita itu hingga urat malunya ikut putus.

Sebagai seorang putri dari suatu kerajaan besar, di mana dirinya terus ditolak berkali-kali oleh orang yang sama. Seharusnya jika dia manusia pada umumnya, dia merasa depresi selalu menyerah dan memilih pria yang mau menerimanya apa adanya. Namun wanita di hadapannya ini benar-benar batu. Siapa yang akan memilih sosok seperti ini?

"Duke, saya sangat mengkhawatirkan keadaan Anda. Mendengar berita kematian Anda membuat saya merasa sangat sedih dan terpukul. Saya bahkan tidak bisa makan berhari-hari karena terus memikirkan Anda. Namun syukurlah semua kekuatan itu musnah ketika Anda datang dengan keadaan yang sangat sehat. Duke, sungguh saya sangat merindukan Anda."

Whitney tersenyum begitu lebar. Wanita itu merentangkan tangan nyaris memeluk Alaric. Namun pria itu bergerak lebih gesit menghindari sentuhan tangan Whitney. Hal itu membuat wanita itu membelalakkan mata karena ia harus terjungkal ke depan seandainya langkah kakinya tidak segera menopang tubuh.

Hatinya terasa mencelus karena diperlakukan demikian oleh Alaric. Pria itu masih bersikeras untuk menolak kehadirannya. Namun sekeras apapun Alaric mencoba untuk menghindar darinya, Whitney tidak akan pernah menyerah dari perjuangan cintanya.

"Hentikan omong kosong ini," sungut Alaric dengan kedua alis mengerucut marah.

Mendengar ucapan Alaric, Whitney jelas langsung membela diri. "Aku tidak mengatakan omong kosong."

Alaric menatap tajam ke arah Whitney. "Putri Anda harus lebih bersikap dewasa. Asal anda tahu jika bukan karena saya menghormati Raja mungkin saya tidak akan bersikap lunak kepada Anda. Dengar baik-baik apa yang saya katakan. Saya tidak pernah mencintai anda dan saya telah memiliki wanita dambatan hati. Jika anda masih bersikap tidak tahu diri dengan berat hati saya akan memperlakukan anda dengan tidak tahu diri pula."

Sakit? Jelas. Namun segala sesuatu perlu diperjuangkan termasuk rasa cintanya kepada Alaric. Whitney dengan gelar yang begitu tinggi tidak akan pernah menikah dengan pria lain kecuali Alaric. Karena wanita itu yakin hanya Alaric pria yang pantas menikahinya.

"Tapi Duke, aku-"

"PERGI!" bentak Alaric lantang.

Mendengar bentakan yang sangat keras tepat di depan wajah membuat Whitney langsung bergetar ketakutan. Sungguh seumur hidup tidak ada yang pernah membentaknya. Namun hari ini ia mendapatkan bentakan pertama kali dari orang yang ia cintai. Hal itu sangat melukai hatinya membuat Whitney tak tahan untuk menangis.

"Duke, Anda ..."

"Duke, tidak seharusnya Anda memperlakukan wanita dengan kasar seperti itu," ucap seorang wanita. Itu bukan Whitney.

Merasa terkejut dengan datangnya suara wanita asing, Hal itu membuat Whitney segera menoleh ke arah asal suara. Kedua matanya dibuat membelalak lebar ketika ia melihat seorang wanita tampak duduk bersandar pada kepala ranjang. Dia adalah Arletta. Si sumber masalah percintaannya.

Melihat keberadaan wanita itu membuat Whitney naik pitam.

"Dasar wanita murahan! Apa yang kau lakukan di kamar Duke Wilton? Kalau dibayar berapa sampai harus menghangatkan ranjang pria yang dijodohkan dengan keluarga Kerajaan?"

Mendengar ucapan Whitney, Arletta dibuat membelalak tak percaya. Alaric juga tampak mencemaskan Arletta sehingga membuat pria itu segera memanggil penjaga atau pelayan Whitney di luar untuk segera membawa wanita itu keluar dari ruangannya.

Terkejut bukan main dibuat ketika Alaric mendengar Arletta membalas perkataan yang terlontar dari mulut tajam Whitney.

"Setidaknya, orang rendahan ini lebih hebat daripada Anda sehingga Duke lebih memilih saya untuk menghangatkan ranjangnya. Padahal, saya bukan siapa-siapa, loh."

I Choose The Villain DukeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang