12

4.8K 335 0
                                    

Langit gelap bergumpal di langit, menggulung gumpalan laksana kapuk lembut menjadi kelabu tatkala langit berubah menjadi gelap seiring dengan lenyapnya mega merah di ufuk barat. Malam menggulung hari, perubahan waktu yang cukup untuk membuat Putra Mahkota menghentikan perjalanan.

Pria itu menghentikan langkah kudanya, membuat pengikutnya melakukan hal yang sama. Kudanya bergerak menyamping, mengikuti instruksinya agar pria itu bisa menatap rombongan yang terdiri dari para pria militer itu lebih leluasa.

"Kita buat peristirahatan di sini."

Setelah mendengar perintah sang putra mahkota, para bawahannya segera membangun tenda utama yang berukuran lebih besar dari yang lain. Beberapa orang segera mengeluarkan beberapa perabotan dari kereta barang dan menyusunnya di dalam tenda milik Putra Mahkota.

Sementara menunggu tendanya selesai dibangun. William memilih melangkahkan kaki menuju lebih dalam ke tengah hutan tanpa penerangan. Hutan berubah menjadi sangat gelap. Rimbunnya dedaunan di puncak pohon ikut serta menghalau cahaya bulan yang bertakhta. Namun, memang ini 'lah suasana yang ia inginkan.

Berdiri cukup lama, akhirnya William menyadari adanya pergerakan mendekat. Tepat ketika ia melirik dari ekor mata, seseorang datang dengan jubah hitam dari balik pepohonan. Dia berjalan kaki, mendekati William.

"Hormat hamba, Putra Mahkota," ucap sosok itu yang ternyata seorang wanita.

William memutar tubuh sempurna menghadap wanita itu. Mengisyaratkan agar waita itu bangun.

"Bagaimana?"

Tangan lentik wanita itu tampak pucat, bergerak membuka tudung hitam yang menutupi wajahnya. Ketika tudung tersibak, maka tampak lah penampilannya.

Kedua mata William dibuat membelalak. Cukup terkejut karena melihat penampilan wanita itu. Bukan karena kecantikannya, melainkan karena ciri tubuhnya yang berbeda dari kebanyakan ciri fisik penduduk Kerajaan Imaginary. Di mana mayoritas penduduk di sini memiliki ciri tubuh rambut hitam, meski dengan warna bola mata uang berbeda-beda.

Namun, penampilan wanita di hadapannya cukup membuat William terhenyak. Bagaimana tidak? Kulit mulusnya pucat, cenderung terlihat tidak memiliki aliran darah seperti mayat hidup. Rambutnya putih, tetapi lurus terawat. Padahal, satu yang jelas William ketahui, wanita itu sebelumnya tidak memiliki penampilan seperti itu. Daripada terlihat seperti penduduk asli, wanita itu justru mengingatkan William pada wanita yang dibawa Alaric sang musuh bebuyutan beberapa waktu yang lalu.

Arletta. Namanya masih teringat jelas pun dengan ciri fisiknya yang begitu mencolok dari kebanyakan orang-orang di Kerajaan Imaginary.

William mendekati wanita yang tengah menundukkan wajahnya dalam itu. Berhenti tepat beberapa senti saja dari hadapan sang wanita. Tangan besarnya terangkat, menyentuh rahang mulus sang wanita.

"Veronica, kau masih hidup?"

Wanita yang dipanggil Veronica itu mengangkat wajah. Tatapan dari pupil mata uang juga berubah menjadi kelabu muda itu bergetar, bersamaan dengan itu cairan bening merembes dari ujung matanya.

"Anda yang membangkitkan saya, Yang Mulia," cicit Veronica merasa takut.

Tanpa pikir panjang, William langsung memeluk erat tubuh Veronica. Rasanya dingin. Meski secara logika dia sedang memeluk mayat wanita yang ia cintai, tetapi ia lega karena telah mampu membangunkan kembali sosok yang ia cintai itu. Dengan bantuan sihir yang berakibat dengan kehebohan sampai ke pelosok negeri, William akan menerima segala konsekuensinya.

Telapak tangan besarnya mengeratkan kepala Veronica agar semakin dalam masuk ke pelukannya. Wajah William mendekat, tenggelam di ceruk leher, merasakan dinginnya kulit lembut Veronica. Aroma tubuh wanita itu berubah, tidak ada aroma wangi. Ia mencium sedikit aroma anyir dan bau busuk. Mungkin itu dari tubuh Veronica yang belum dibangkitkan dengan sempurna.

Srek!

Mata William berubah awas tatkala menangkap kedatangan sosok berjubah lain dari balik pepohonan. Sosok itu langsung berlutut hormat.

"Salam untuk Yang Mulia. Yang Mulia, masih butuh waktu untuk menyempurnakan tubuh Nona Veronica. Namun, kita semakin dekat dengan tujuan utama kita," lapor pria itu.

William hanya mengangguk, lalu memberikan isyarat agar pria itu pergi menjauh. Setelah cukup dengan laporannya, pria itu kembali membalikkan badan dan berjalan ke sela-sela pepohonan.

Dilepaskannya pelukan pada tubuh Veronica. Kelopak mata itu terangkat, mata beningnya membalas tatapan William, membuat darah pria itu berdesir hangat. Ditangkupnya wajah jelita itu penuh rasa haru.

"Aku sungguh tidak bisa kehilanganmu. Aku berjanji, akan menjadi lebih kuat dan melindungimu. Aku tidak akan pernah memaafkan orang-orang yang telah menyakitimu, termasuk ayahku sendiri."

Veronica hanya membalas dengan senyuman. Tidak tahu lagi harus berkata apa. Hanya saja, ia merasa sangat berbeda. Aneh dengan dirinya sendiri.

"Veronica, mengapa kau hanya diam saja? Apakah kau kehilangan ingatanmu?"

Hilang ingatan? Mana mungkin. Wanita itu masih mengingat dengan jelas bagaimana mata pedang yang berkilat sebelum memenggal kepalanya. Wanita itu menutup mata erat, berusaha mengganti ingatannya dengan momen bersama William. Cukup sedikit menenangkan sehingga ketika ia kembali membuka mata, ia mampu tersenyum lebih lebar.

"Tidak. Hanya saja, rasanya sangat aneh ketika aku yang sudah mati kembali hidup." Veronica tersenyum kecut. "Hanya karena wanita hina ini, Putra Mahkota melakukan hal yang sangat besar. Hamba hanya merasa tidak pantas."

Veronica kembali menundukkan wajah. Namun, tangan William segera menahan dagunya, mengangkatnya perlahan hingga mereka saling bertukar tatap. Dalam dan penuh perasaan.

"Jangan pernah merendahkan dirimu sendiri, Veronica. Kau, satu-satunya wanita yang aku cintai. Dengan wanita lain, aku tidak akan."

Tersenyum getir, Veronica meneteskan air mata. "Tapi hamba hanya mayat yang dibangkitkan dengan sihir, Yang Mulia."

"Apakah kau menyalahkanku?" tanya William mengerutkan kening, tidak suka karena wanita yang dicintainya ini selalu merendah, selalu berkata tidak pantas.

Padahal, di benak William hanya ada Veronica seorang. Tidak dengan wanita lain yang katanya lebih cantik, lebih kaya, lebih berkuasa. William tidak butuh. Hanya satu langkah lagi untuk menjadi orang paling kuat sehingga bisa melindungi orang-orang yang ia cintai agar mereka tidak diusik lagi.

Menggeleng cepat, Veronica memandang khawatir William. "Tidak, Yang Mulia. Hamba tidak berani."

"Maka dari itu, kumohon jangan katakan hal-hal seperti ini lagi. Kau adalah satu-satunya yang paling pantas untukku, Veronica. Untuk sekarang, bersabarlah hingga tubuhmu benar-benar sempurna."

Wajah William mendekat, kedua mata Veronica terpejam. Perlahan, ia merasakan kecupan hangat di keningnya. Begitu lembut dan penuh perasaan. Namun, yang membuat Veronica lebih sedih adalah karena ia tidak bisa merasakan debaran jantungnya. Ya, meski ia bisa merasakan emosi-emosi yang bergejolak, tetapi perasa Veronica dan beberapa organ dalamnya belum berfungsi sempurna. Dan tidak tahu apakah masih bisa berfungsi sempurna sama seperti sedia kala.

Memberi jarak antara keduanya, William kembali mengelus pipi Veronica. Ia tersenyum, terharu.

"Aku akan melakukan apa pun agar selalu bisa bersamamu, Veronica."

I Choose The Villain DukeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang