41. Tirani

1.4K 69 0
                                    

Alaric tersadar, ia kembali berada di ruangan di mana ia melakukan ritual bersama Arletta. Tubuhnya terasa sangat lemas, seolah kehilangan banyak sekali tenaga hingga nyaris tak tersisa. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, alat menoleh dengan lemas ke samping. Harapannya adalah Arletta tengah panggil seperti yang mereka bilang. Namun, kenyataannya nihil. Alaric tidak mendapati siapa pun di sisinya.

Seketika itu tangis pria itu pecah. Pria itu berpikir bahwa arletal benar-benar telah mati dan tidak bisa kembali. Apa yang ia lihat bahwa mereka pulang bersama adalah ilusi belaka. Bahwa itu hanyalah mimpi miliknya. Latihan lari terasa begitu hampa dan kebas.

Dia itu terduduk lemas, sungguh tak menyangka bahwa semuanya akan seperti ini. Mengapa ia tidak ikut mati saja bersama Arletta. Itu akan lebih baik daripada ia terus menanggung rasa bersalah seperti ini seumur hidupnya.

Di tengah isakannya itu tiba-tiba terdengar suara dari pintu yang terbuka. Alaric tidak ingin menoleh, agaknya masih ingin menikmati lukanya yang begitu mendalam. Dia itu menekuk lutut, melipat kedua tangan di atasnya lalu menenggelamkan wajah. Tubuhnya bergetar benar-benar kalut dalam tangisan.

"Du-duke, mengapa Anda menangis?"

Suara lompat tali tapi akan masih terngiang jelas di telinganya. Betapa dalamnya perasaan Alaric pada wanita itu. Sampai-sampai semua tentangnya masih tertinggal begitu nyata.

"Duke, mengapa Anda menangis?"

Sekali lagi suara itu terdengar, membuat Alaric terdiam sejenak. Pria itu dengan ragu mengangkat pandangannya. Begitu matanya terbuka, wajah jelita seorang yang begitu ia harapkan muncul begitu jelas. Kedua matanya membelalak tak percaya dengan apa yang dilihat.

"Arletta, kau kah itu?" Alaric mencoba mengeluarkan tangan untuk menyentuh wajah Arletta.

Tatapan saya wanita itu menunjukkan betapa khawatirnya ia. Ia pun sekarang mendekat dan duduk di sebelah Alaric. Tangan mungilnya bergerak lembut menyentuh telat punggung tangan kekar Alaric lalu menuntunnya untuk menyentuh pipinya yang kini telah basah oleh air mata. Arletta memaksakan seulas senyum di bibirnya yang bergetar karena haru yang teramat sangat ini.

"Duke," panggil Arletta bersama isak tangis harunya.

Kulit kamu begitu terasa nyata di telapak tangannya. Membuat alarm sakit bahwa yang dilihatnya bukan hanya sekedar ilusi atau mimpi. Pria itu langsung bareng keluarga kita ke dalam pelukannya. Tangis kedua insan itu beradu dalam haru yang mendebarkan.

"Arletta, ini sungguh dirimu?" Alaric seolah masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Arletta mengangguk, tenggorokannya tercekat, lidahnya terasa kelu untuk sekadar memberi jawaban berupa kata iya.

"Astaga, kupikir aku kehilanganmu," keluh Alaric mengeratkan pelukannya.

"Terima kasih, Duke. Anda telah mengorbankan segala sesuatu untuk saya."

"Jangan katakan itu. Diamlah, kau membuatku sangat khawatir."

***

Sudah berbulan-bulan tidak kunjung terdengar kabar keberadaan Alaric. Hal itu tentu menjadi poin tersendiri bagi Ramosha dan Diego dengan rencana mereka. Sudah berada di tengah jalan, siap untuk memulai puncak rencana menguasai kerajaan ini.

Rencana mereka sudah dimulai dari satu bulan yang lalu di mana mereka dengan sengaja memberikan racun kepada Raja Valius hingga membuatnya kini terbaring tak berdaya di atas ranjang. Hal itu membuat kekuasaan setingkat Raja jatuh kepada William.

Tentu dengan kekuasaan William membuat Ramosha dan Diego semakin leluasa. Bahkan perlahan tapi pasti mereka mulai melenyapkan barang-barang yang berkaitan dengan anti sihir di kerajaan itu. Pengawasan terhadap benda-benda berbahaya juga semakin berkurang sehingga membuat barang-barang yang mereka butuhkan bisa masuk dengan mudahnya.

I Choose The Villain DukeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang