40. Ritual

2K 128 7
                                    

Tak ada jalan lain kecuali Alaric menikahi Arletta terlebih dahulu sebelum melakukan ritual yang telah mereka sepakati. Apa yang dikatakan Amaya tentang meminum udara satu sama lain ternyata tidak semua mengerikan yang terbersit di dalam benak Alaric. Pria itu hanya perlu meminum satu tetes darah milik Arletta begitupun dengan Arletta. Ditambah dengan meneteskan darah masing-masing di atas kitab sihir pernikahan sampai nama mereka muncul di atas kitab itu dengan bentuk cahaya.

Tidak butuh waktu lama bagi Arletta dan Alaric untuk lakukan ritual pernikahan sesuai dengan adat Kerajaan Gloria. Kini mereka telah resmi menjadi suami istri. Dan ruangan yang digunakan untuk ritual telah disiapkan.

Ini Alaric berada di dalam ruangan itu bersama Arletta yang terbaring tak berdaya di atas ranjang. Exon membacakan mantra dari luar ruangan, tepat di depan pintu. Seperti perintah Exon, ia tidur di sisi Arletta.

Sungguh, dalam hidupnya tidak pernah membayangkan hal semengerikan ini. Bercinta dengan wanita yang mana keadaannya tidak sadarkan diri. Sungguh, Alaric akan memaki dirinya seumur hidup meskipun niatnya baik.

Tepat ketika bacaan mantra itu berhenti, Alaric meminum racun cinta lalu meminumkannya kepada Arletta. Karena ia tak memiliki kekuatan sihir, maka kini suara Amaya yang terdengar mengucapkan mantra dari luar ruangan.

Setelah Amaya selesai membacakan mantra, Alaric pun mulai mencium bibir Arletta. Air mata pria itu menetes, karena yang ia rasakan dari bibir mungil itu hanya rasa dingin. Sangat berbeda dengan sensasi dari yang pernah mereka lakukan sebelumnya. Namun, siapa sangka, ketika bibir mereka bertemu dalam hitungan detik, tiba-tiba Alaric melihat cahaya yang muncul dari tubuh Arletta.

Pria itu tercekat, tetapi tubuhnya terasa terkunci ketika hendak bergerak. Tiba-tiba Alaric seolah ditarik oleh suatu portal yang membuatnya berpindah ke suatu tempat yang dipenuhi dengan kegelapan. Di tempat itu, tampak begitu suram dengan suara tangisan yang saling bersahutan.

Alaric melihat tubuhnya sendiri, hanya tampak seperti cahaya yang tembus pandang. Ditatapnya sekeliling, di mana banyak pula orang-orang dengan serupa seperti dirinya. Alaric yakin, itu adalah jiwa-jiwa yang diambil paksa. Mereka tampak menangis, mengeluarkan suara yang menyedihkan.

Mulai melangkahkan kaki, Alaric menatap sekeliling, mencari-cari keberadaan Arletta.

"Arletta! Kau di mana?! Aku Alaric Wilton datang untuk menjemputmu!" teriak Alaric membuat beberapa pasang mata menatap ke arahnya sesaat lalu kembali berpaling dan mulai kembali berjalan dengan gontai entah ke mana.

Alaric berlarian ke sana kemari, mencari dari sudut ruang gelap yang tampak seperti di dalam gua. Namun, hasilnya masih nihil. Ia terus mencari-cari keberadaan Arletta, tetapi tak kunjung ketemu.

Hingga tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya. Alaric pun segera membalikkan badan, berpikir bahwa itu Arletta, kedua sudut bibirnya terangkat, memberikan senyum bahagia.

Alih-alih menemukan Arletta di sana, yang Alaric lihat justru penampakan seorang pria berjubah hitam dengan asap hitam yang mengelilingi tubuhnya.

"Kau orang yang menculik jiwa Arletta!" murka Alaric lantas segera menerjang sosok itu.

Namun, anehnya, ketika hendak disentuh, sosok itu malah tertembus oleh tubuhnya. Hal itu membuat Alaric tertegun. Ini adalah pengalaman yang sangat aneh dan tidak akan pernah ia lupakan.

"Bagaimana kau bisa sampai di sini?" tanya sosok itu heran.

"Kembalikan jiwa Arletta!"

"Oh, wanita itu namanya Arletta. Sangat cantik, sama seperti wajahnya."

"Tutup mulutmu!"

Alaric kembali menerjang sosok itu. Namun, ia kembali gagal. Hingga tiba-tiba ia merasakan pukulan telak yang menghantam punggungnya. Seolah pukulan itu berasal dari suatu benda yang besar dan sangat keras hingga membuat Alaric jatuh tersungkur.

"Argh!" pekik pria itu kesakitan.

"Jiwa yang sudah pergi kemari, tidak boleh diambil. Sudah susah payah aku mengumpulkan mereka." Pria itu mencebikkan bibir bawahnya.

Wajahnya tak terlihat, tertutup samar oleh tudung hitam. Tiba-tiba asap hitam keluar dari telapak tangannya. Asap itu memanjang, lalu melesat cepat ke arah Alaric, menerjang tubuhnya begitu saja hingga membuat ia terpental jauh. Punggungnya membentur bebatuan gua amat keras.

"Menyerahlah, dan kembalilah ke tempat asalmu. Jika tidak, kau mungkin akan terpenjara di sini bersama jiwa-jiwa yang lain. Aku masih berbaik hati mau memperingatkanmu, loh." Sosok itu berkata dengan begitu entengnya, membuat Alaric semakin geram.

Belum sempat bangkit dengan sempurna, tiba-tiba asap hitam kembali melesat ke arahnya. Kali ini lebih mengerikan karena bersamaan dengannya, ada bara api yang siap membakar Alaric. Pria itu mengelak, membuat api itu membentur batuan di belakangnya sehingga menciptakan kobaran besar yang membuat Alaric merasa kepanasan. Padahal ini belum tersentuh. Sungguh kekuatan yang tidak main-main.

Gilanya, tidak hanya sekali, tetapi serangan itu melayang berkali-kali hingga membuat Alaric yang terus menghindar menjadi kewalahan. Hingga di titik jenuhnya, ia terkena serangan yang membuatnya sampai muntah darah. Lantas, ketika ia mendongak, kedua matanya hanya bisa membelalak ketika tubuhnya terpaku menanti bola api yang siap menerjang ke arahnya.

Belum sempat bola api itu menyentuh tubuhnya, tiba-tiba sesuatu melesat lebih cepat hingga membuat serangan itu terpental kembali pada si penyerang. Pria berjubah hitam sampai mundur beberapa langkah karena tidak menyangka akan mendapatkan serangan tak terduga. Matanya menatap awas pada arah asal serangan, begitu pun Alaric yang lantas dibuat terpaku oleh apa yang dilihatnya.

"Arletta!" pekik pria itu tersenyum di sela batuk berdarahnya.

Wanita itu sungguh Arletta. Berlari ke arahnya dengan senyum merekah. Wanita itu langsung memeluk Alaric, menangis sejadi-jadinya.

"Aku takut di sini," keluh Arletta.

Alaric membalas pelukan wanita itu. "Aku juga senang bisa kembali bersamamu."

"Ckck, tontonan yang menarik. Sayang sekali, aku harus kehilangan satu jiwa yang sangat lezat." Si pria berjubah lantas membalikkan badan.

Namun, belum sempat menghilang, Arletta segera merentangkan tangannya lalu membuat tali yang berupa air hingga mengikat tubuh si pria berjubah. Arletta melepaskan pelukannya, wanita itu bangkit. Tatapannya berubah tajam dengan kedua tangan terulur. Dengan satu hentakan, kedua telapak tangannya mengeluarkan cahaya putih yang seketika merubah air itu menjadi es.

Mendapati serangan dari Arletta, pria itu berusaha mengelak. Namun, ia kalah cepat dari es yang terlanjur membungkus tubuhnya. Arletta menggerakkan tangannya, membuat es yang mengurung pria berjubah itu hancur seketika bersama tubuhnya yang bercerai berai sebagai bagian dari bongkahan es.

Melihat itu, kedua mata Alaric dibuat membelalak terkejut. Otaknya terasa kebas seketika menyaksikan kejadian yang sangat di luar nalar. Apalagi itu dilakukan oleh Arletta.

Wajah Alaric terangkat, memandang takjub pada Arletta.

"Mari kita pulang!" Arletta mengulurkan tangannya lalu tersenyum. "Terima kasih sudah menjemputku sampai sejauh ini."

Dan seketika itu pandangan Alaric berubah menjadi hitam dan telinganya menjadi kebas dari suara apa pun.

I Choose The Villain DukeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang