Kali ini Arletta tidak setuju dengan apa yang dikatakan Alaric. Dengan kehidupan keras yang pernah ia lalui selama ini, membuat Arletta sangat mengerti apa itu kesepian dan sakit sendirian. Tidak ada orang yang menolongnya. Sungguh hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri di tempat yang begitu kejam. Begitulah cara urutan melihat si rambut merah.
Meskipun pria itu memiliki latar belakang sebagai seorang klan api, dan mungkin saja adalah seorang pemberontak di kerajaan lain. Berhubung kerajaan yang dahulu dikuasai klan api ini telah jatuh pada klan air. Untuk urusan hidup dan mati, semua hal itu harus dikesampingkan terlebih dahulu.
Bodoh memang apabila ia menolong musuh sendiri dan membiarkannya balas membunuh Arletta. Di luar dendam apa yang dimiliki masing-masing setiap orang, mereka akan tetap dibebani oleh utang budi. Biar jadi urusan si rambut merah nanti, jadi atau tidak membunuh Arletta karena mengira Arletta adalah bagian dari klan air yang ia benci. Nyawa si rambut merah saat ini lebih penting.
"Aku tidak butuh pertolonganmu!" tolak si rambut merah masih bersikeras menatap tajam penuh api permusuhan kepada Arletta.
Sekali lagi hati Alaric 'lah yang terbakar karena Arletta diperlakukan demikian.
"Ini bukan pertolongan. Tapi transaksi." Begitulah cara Arletta membujuk.
Si rambut merah masih memegangi dadanya yang terasa sangat nyeri. Cairan merah semakin mengotori bajunya, membuat penampakan menjadi lebih tragis. Kali ini si rambut merah tidak banyak bicara, ia diam. Barang kali mempertimbangkan ucapan Arletta.
"Jika tidak salah, klan api kalian mendapatkan ketidakadilan, 'bukan? Sebelumnya, perkenalkan, namaku Arletta Davies. Ibuku dulu klan air, tetapi dia tidak memiliki kekuatan pengendalian elemen air. Aku dari Kerajaan Imaginary. Tidakkah kau berpikir jika kau mati, maka pejuang dalam klanmu akan berkurang?"
Arletta memandang si rambut merah lamat-lamat. Pria itu masih diam. Lantas, Arletta kembali melanjutkan ucapannya.
"Kami sedang dalam perjalanan menuju ke Kerajaan Gloria. Berpikir di sana sangat kental akan kekuatan sihir, mungkin bantuan Anda akan sangat membantu bagi kami. Tenang saja, kami akan membayar jasa Anda dan akan menanggung pengobatan Anda."
Pandangan si rambut merah terangkat, beradu dengan mata biru milik Arletta.
"Seharusnya, kau membunuhku selagi ada waktu," gumam si rambut merah.
Tampaknya aura permusuhan masih tampak begitu jelas di matanya.
Arletta segera menggeleng tegas. "Tidak. Untuk apa aku membunuhmu? Lagipula, tujuan kami datang bukan untuk membunuh orang. Kami hanya dalam perjalanan saja."
"Cukup, Arletta. Hentikan omong kosongmu dan bunuh saja pengecut tidak berguna ini!" serobok Alaric menyilangkan tangan di depan dada.
Kesal juga melihat betapa batunya pria berambut merah yang padahal ia hanya perlu diam dan menerima bantuan berupa pengobatan. Sikap sombongnya itu membuat Alaric geram sendiri. Apalagi, alih-alih tersinggung, kebaikan hati Arletta malah membuat hatinya semakin memanas.
Mendengar ejekan Alaric, si rambut merah terkekeh. Ia menyadari satu hal.
"Kau benar, aku adalah pengecut."
Ia tersenyum kecut.
***
"Exon, kalian bisa memanggilku Exon."
Begitu 'lah si rambut merah memperkenalkan diri. Meski tatapannya pada Arletta masih menampakan ketidaksukaan yang teramat sangat, tetapi dia itu mulai mau untuk sekadar duduk bersebelahan. Membawa perban dan beberapa obat-obatan luar karena ia tahu ada beberapa bekas luka yang cukup besar di tubuh Exon.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Choose The Villain Duke
FantasyArletta Davies kembali terbangun setelah dibunuh dengan keji oleh suami dan keluarganya. Demi membalaskan dendam pada kekejaman keluarga dan mantan suami di kehidupan sebelumnya, Arletta rela menjadi istri kontrak Duke Alaric Wilton, pria kejam dan...