Dia sudah mati.
Arletta sudah mati.
Alaric hanya bisa terduduk lesu mendengar suara wanita misterius yang tiba-tiba datang. Jelas-jelas wanita itulah yang telah membunuh Arletta. Untuk sejenak, Alaric tidak bisa berkata apa-apa. Pria itu hanya terdiam dengan tatapan kosong tak percaya dengan kenyataan yang ada di hadapannya.
"Tidak mungkin," gumamnya menatap wajah Arletta dengan sendu.
Lalu, wajahnya mendongak, membalas tatapan iba dari wanita bersurai perak yang tampak asing. Wanita itu dampak menaruh empati pada kesedihan yang dirasakan Alaric. Tampak menyesali perbuatan lancangnya yang langsung membunuh Arletta begitu saja.
Sebenarnya pria itu berada di puncak emosi. Namun, ia juga berada di tengah badai kesedihan yang membuatnya tak mampu melakukan apapun. Tenaganya mendadak hilang, lenyap begitu saja.
"Mengapa kau membunuhnya?" Alaric berkata lemah. Mengeratkan pelukannya pada tubuh Arletta.
"Anu, itu sebenarnya ... andai tidak dibunuh, jiwanya juga telah dicuri."
Alaric mendongak, menatap tajam si wanita bersurai perak penuh api permusuhan.
"Tapi seharusnya kau tidak langsung membunuhnya tanpa persetujuanku!" teriak Alaric lantang meluapkan semua perasaan yang campur aduk dalam dirinya.
Si wanita bersurai perak berjingkit kaget. Ia bahkan sampai harus mundur beberapa langkah karena merinding parah dengan ucapan Alaric.
"Aduh, aku 'kan hanya berusaha menyelamatkanmu," cicit wanita itu bergerak mundur, menjauh.
Hingga tiba-tiba, muncul portal teleportasi dan mengeluarkan sosok pria berjubah biru dongker dengan sulaman-sulaman emas di sekitarnya. Dari pakaian yang tampak begitu berkelas, menunjukkan bahwa pria itu bukan dari kalangan orang biasa. Seketika itu kedua mata narik semakin memincing tajam.
Itu tampak terkejut dengan pemandangan yang tersaji di hadapannya. Tatapannya jatuh kepada malarik dan sosok wanita yang bersimbah darah tampak tak sadarkan diri. Terakhir ia menatap ke samping, terdapat pada si gadis bersurai perak yang juga membalas tatapannya dengan tatapan sendu.
"Aku tak sengaja membunuhnya," adu wanita bersurai perak pada si pria.
"Bukankah memang seharusnya begitu?" balas si pria lalu menatap ke arah Arletta.
"Siapa kau? Beraninya kau berkata seperti itu?!" bentak Alaric menatap sengit pada si pria berjubah mewah itu.
"Tapi itu kekasihnya," lanjut si wanita bersurai perak merasa tak enak hati.
Menghela napas sejenak, pria berjubah itu melangkah mendekat, menapaki genangan darah para monster serigala begitu saja.
"Aku Devian Xavier, Raja baru Kerajaan Gloria. Dan ini, adalah Amaya, istriku sekaligus Ratu Kerajaan Gloria." Pria bernama Devian memperkenalkan diri.
Mengetahui identitas kedua orang di hadapannya yang jelas sangat luar biasa, seketika membuat Alaric terkekeh sinis. Sungguh, dunia begitu lucu memperlakukan dirinya.
"Maaf untuk tragedi ini. Hanya saja, kekasihmu itu jiwanya sudah lebih dahulu dicuri oleh anak buah iblis sehingga tubuhnya yang kosong dirasuki iblis-iblis lain yang bisa menyerang manusia. Apa yang dilakukan istriku, semata-mata pasti untuk menyelamatkanmu."
"Selamatkan dia," potong Alaric berusaha bangkit seraya menggendong tubuh Arletta yang tak sadarkan diri.
Wajah Alaric terangkat, matanya beradu sengit dengan Devian.
"Jika kau tidak menyelamatkan kekasihku, akan kunjung pula wanita itu!" Alaric menatap tajam ke arah Amaya.
Membuat wanita itu berjingkit kaget. Sontak saja, Amaya langsung bersembunyi di balik tubuh kekar Devian untuk mencari aman.
"Dia sudah mati, jadi kau harus mengikhlaskannya."
"Mengikhlaskan katamu?" kekeh Alaric begitu dalam dengan luka yang terasa menganga dalam hatinya.
Untuk ke sekian kalinya, ia melihat orang yang ia cintai mati di depan mata. Mengapa takdir begitu kejam kepadanya. Padahal niat hati kemari untuk mencari kesepakatan demi kerajaan dan mencarikan obat untuk Arletta. Namun, siapa sangka, kelemahan Alaric rupanya membuat Arletta terbunuh. Ini tidak adil.
"Suamiku, bagaimana kalau kita membawa orang ini ke istana lebih dulu. Tetua Agung pasti bisa mencari cara untuk menyelamatkannya. Atau begini saja, aku baca kitab-kitab sihir dulu, nanti kalau ada cara, aku akan menyelamatkannya." Amaya berusaha bernegosiasi, mengintip takut dari balik tubuh Devian.
Mendengar ucapan Amaya, agaknya menggelikan sekali. Terdengar seperti lelucon, seolah wanita itu sedang menghibur anak bayi yang menangis. Sayang sekali, Alaric bukan bayi.
"Bukan kalau bisa. Tapi kau memang harus menyelamatkannya!"
"Baiklah," ucap Devian tegas. "Kita bawa dia ke istana lebih dahulu."
Maka dengan portal teleportasi, mereka semua pergi ke istana. Benar-benar ke istana, di dalam bangunan yang begitu megah. Mereka memasuki sebuah kamar, Alaric lantas membaringkan Arletta di sana.
Amaya kemudian maju, mengulurkan kedua tangan. Namun, gerakannya terhenti saat Alaric tiba-tiba mendorongnya untuk menjauh. Pria itu menatap sengit pada Amaya, orang yang telah membunuh Arletta.
"Apa yang kau lakukan?" sergah Alaric tajam.
"Aku akan mengobati lukanya."
"Tenanglah, Duke. Istriku akan mengobati luka di tubuh wanitamu."
Mendengar itu, meski masih ragu, akhirnya Alaric membiarkan Amaya mendekat. Wanita itu mengulurkan tangan, lantas keluarlah cahaya keunguan yang terhubung ke tubuh Arletta. Hanya beberapa menit, sampai cahaya itu kembali padam.
"Suamiku, pergilah dahulu dan tolong panggilkan beberapa pelayan agar membawakan pakaian bersih."
"Apa yang akan kau lakukan?" Alaric kembali bertanya dengan khawatir.
Takut jika orang-orang itu kembali melakukan hal buruk pada Arletta.
"Istriku hanya ingin menggantikan bajunya. Kau masih mau tetap di sini?" Devian menjawab.
"Tapi lukanya?"
Lantas, Amaya membuka gaun yang dikenakan Arletta sebatas dada, menunjukkan bekas luka yang memang telah lenyap. Melihat itu, Alaric cukup takjub.
"Duke Wilton, lebih baik kita membahas urusan kita lebih dahulu seraya menunggu Tetua Agung datang kemari untuk menyembuhkannya."
"Tapi-"
"Anda tenang saja, saya pasti akan bertanggungjawab." Amaya berkata mantap.
Entah dorongan dari mana pula Alaric mempercayainya begitu saja. Akhirnya, Alaric berjalan mengikuti Devian menuju ruang kerja pria itu. Alaric tidak sempat melihat-lihat ke sekeliling karena di seluruh pikirannya telah dipenuhi oleh kekhawatirannya kepada Arletta.
"Tidak hanya di Kerajaan Imaginary, rupanya beberapa kerajaan lain juga mengalami masalah yang sama. Kemunculan sihir hitam di mana-mana." Devian menjelaskan. "Beberapa bulan ini, kami menghadapi masala yang cukup berat karena satu per satu jiwa rakyat kami dicuri begitu saja. Efeknya sama dengan yang terjadi pada Lady Arletta. Mereka berubah menjadi liar dan tak segan membunuh dan menghancurkan apa pun yang ada di depan mata."
Devian menjeda sejenak, mengambil napas baru melanjutkan.
"Satu-satunya cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menusuk jantung orang yang kerasukan iblis. Namun, efekny, jelas orang itu akan mati. Jiwanya tidak akan bisa kembali."
Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Devian, seketika membuat Alaric naik pitam. Pria itu menggebrak meja hingga membuat benda yang terbuat dari kayu itu retak seketika. Menunjukkan betapa besar emosi yang meluap di sana.
Alaric baru saja menemukan dawetan hatinya. Membuatnya merasa memiliki sandaran dan rumah untuk kembali. Namun, bayangan akan indahnya masa depan hancur begitu saja. Seolah dunia ini begitu kejam dengan mengambil orang-orang yang ia cintai.
Padahal Alaric pikir dirinya sudah kuat. Namun, ternyata ia bukan siapa-siapa dan belum menjadi apa-apa. Sangat menyedihkan.
"Jika kau tidak bisa menyelamatkan Arletta. Aku benar-benar akan membunuhmu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
I Choose The Villain Duke
FantasíaArletta Davies kembali terbangun setelah dibunuh dengan keji oleh suami dan keluarganya. Demi membalaskan dendam pada kekejaman keluarga dan mantan suami di kehidupan sebelumnya, Arletta rela menjadi istri kontrak Duke Alaric Wilton, pria kejam dan...